Kalau kamu senang melakukan wisata sejarah, datanglah ke Yogyakarta. Di Kota pelajar yang menjadi salah satu tujuan wisata dunia ini banyak banget peninggalan sejarah bernilai tinggi yang bisa kita temui. Mulai dari Kraton sebagai tempat tinggal raja-raja terdahulu beserta peninggalan-peninggalannya, atau melihat banyaknya candi-candi yang tersebar dipenjuru kota Yogyakarta dari ukurannya yang kecil hingga berupa kompleks candi yang besar dan banyak lagi.
Selain itu, di Yogyakarta masih ada satu lagi wisata sejarah yang layak kita kunjungi yaitu makam Raja-Raja Mataram kuno yang letaknya persis di Kotagede. Sebuah kompleks yang terdiri dari pemakaman raja-raja pendiri kerajaan mataram islam, bekas tempat pemandian jaman dulu dan masjid Kotagede yang merupakan masjid tertua di Jogja.
Bertiga dengan teman saya, kami berangkat menggunakan bus TransJogja D2 naik dari halte didepan Benteng Vredeburg dan turun di halte Departemen Kehutanan. Dari situ kita sudah bisa melihat gapura “Selamat Datang” Kotagede yang juga merupakan sentra kerajinan perak. Hampir disepanjang jalan kita akan menemui toko-toko yang menjual kerajinan perak. Namun, saya tak tertarik sedikit pun untuk memasuki salah satu toko disana dan hanya tertarik dengan gerobak yang menjual Es Oyen dipinggir jalan.
Melanjutkan jalan kaki sejauh kurang lebih 100 meter kita akan melewati pasar Kotagede. Pasar ini ternyata sudah ada sejak jaman dulu, hanya saja bangunannya sudah direhab namun posisinya masih berada diposisi awalnya. Dari pasar ini kami tinggal berjalan sedikit lagi menuju selatan hingga tiba di gerbang kompleks makam raja-raja Mataram kuno itu.
Untuk mencapai pusat makam raja mataram kuno tersebut, kita akan melewati tiga gapura berarsitektur Hindu dan kami pun langsung menuju spot makam. Disana terdapat dua rumah tua berdinding kayu, pendopo-pendopo dan halaman berpasir yang cukup luas. Dirumah yang satu kami bertemu abdi dalem berbusana adat Jawa yang bertugas mencatat pengunjung yang datang dan merupakan tempat ganti bagi pria, sementara yang satu lagi sebagai tempat ganti untuk wanita.
Pintu makam selalu dalam keadaan terkunci dan jika ingin memasuki makam, kami diharuskan menggunakan busana adat Jawa baik wanita maupun pria dan dilarang membawa kamera dan perhiasan emas.
Kami di-guide oleh seorang abdi dalem yang juga berbusana adat Jawa namun menurut saya lebih mirip sebagai pengawal kerajaan berupa beskap lengkap dengan pin emasnya berikut blangkonnya. Bapak ini yang menjelaskan secara detail sejarah-sejarahnya bangunan makam tersebut.
Di pekarangan makam saat memasuki makam saya melihat banyak sekali nisan-nisan ukurannya bervariasi. Ada yang berbentuk peti seukuran bayi, lebih besar dari itu atau hanya nisan tanpa nama saja. Menurut bapak tersebut, nisan-nisan tersebut adalah lambang penghormatan bagi orang-orang maupun prajurit yang dulunya pernah berjasa.
Memasuki bangunan utama makam, suasana yang saya rasakan cukup membuat bulu kuduk merinding. Saya lebih banyak terdiam, mengangguk-angguk mendengar dengan seksama dan sesekali bertanya. Bapak itu menjelaskan, dulunya bangunan tersebut tak sebagus saat ini yang berlantaikan marmer karena pada masa pemerintahan Paku Buwono X, bangunan tersebut pernah terbakar dan direnovasi lebih bagus dengan menggunakan marmer dan ukiran-ukiran yang bagus oleh Paku Buwono X yang dulu memang terkenal sebagai Raja yang kaya raya pada masanya.
Saya cukup kaget ketika tiba dilokasi makam Panembahan Senopati sudah ada 2-3 orang paruh baya yang sedang ‘sungkem’ disana. Bapak tersebut menanyakan kami apakah mau sungkeman dulu atau hanya berkunjung. Dengan lembut dan suara pelan kami menjawab berkunjung saja, cuma mau lihat-lihat pak. Kami pun melanjutkan melihat kemakam orang tua Ki Panembahan Senopati, yaitu Ki Ageng Pamanahan. Persis disebelahnya terdapat makam kecil yang ternyata adalah makam Jaka Tingkir.
Dikompleks makam raja-raja Mataram kuno ini saya menjumpai banyak sekali tokoh-tokoh sejarah terkenal yang saya tahu hanya lewat buku pelajaran sejarah di sekolah (dulu). Nama-nama yang familiar misalnya seperti Paku Alam, Amangkurat dan Hamengku Buwono.
Sejujurnya, saya sendiri kurang mengetahui Ki Ageng Pamanahan maupun Ki Panembahan Senopati tersebut dan saya merasa mengunjungi makam tersebut merupakan pengalaman dan pengetahuan yang berharga bagi saya.
Baca juga cerita dan pengalaman traveling saya yang lainnya saat ke Yogyakarta.