Saya belum pernah sama sekali melihat Suku Dayak secara langsung di bumi Kalimantan. Bayangan saya selama ini Suku Dayak itu tinggal di pedalaman-pedalaman dengan kehidupan alam yang liar dan penerapan adat istiadat yang masih sangat kental (keras).
Beruntung, saya dan tim Terios 7 Wonders “Borneo Wild Adventure” mengunjungi salah satu Suku Dayak, yaitu ke kampung Dayak Kenyah yang berada di Desa Budaya Pampang, Samarinda.
Mendengar sebutan Desa Budaya, saya langsung berpikir kami tak akan masuk hutan lagi seperti waktu trekking melihat orang utan di Taman Nasional Sebangau. Lokasinya pun tak jauh dari Kota Samarinda. Tak kurang dari satu jam berkendara dari pusat kota Samarinda kami pun tiba di Desa Budaya Pampang yang berada di Jl. Dahlia, Samarinda Hulu, Kota Samarinda.
Di desa ini tinggal sekitar 200 kepala keluarga dari Suku Dayak Kenyah yang sudah menyatu dengan budaya dan kehidupan modern. Dulunya, Suku Dayak Kenyah tersebut berasal dari perbatasan Sarawak-Malaysia. Saya dan rombongan Terios 7 Wonders “Borneo Wild Adventure” pun memasuki pelataran Balai Desa yang cukup luas. Disana terdapat satu rumah lamin khas suku dayak yang panjang, sementara disisi kanan bangunan lamin terdapat penjual-penjual aksesoris khas suku dayak.
Ketua Balai Desa Budaya Pampang, bapak Simson Imang, menemui kami dengan mengenakan pakaian adat Suku Dayak Kenyah. Kami pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertanya berbagai macam hal tentang suku-suku dayak terutama sejarah Suku Dayak Kenyah itu sendiri.
Ia mulai bercerita tentang Desa Budaya Pampang ini secara umum. Pak Simon Imang adalah ketua Balai pertama sejak dulu, beliaulah yang berinisiatif mengajukan kepada pemerintah setempat mengenai desa budaya tersebut.
Sekarang ini, lanjut pak Simson Imang yang mengira-ngira umurnya sekitar 70 tahun bercerita, penduduk Kampung Dayak Kenyah sudah tidak menjalankan adat istiadat atau ajaran-ajaran leluhur mereka yang terbilang keras. Menurut pengakuannya, hal ini sudah terjadi sejak tahun 1945 semenjak mereka menganut Agama Kristen.
Dahulu, ketentuan-ketentuan adat sangatlah ketat. Misalnya, jika kita menemukan bangkai hewan mati saat perjalanan menuju ladang, seorang Suku Dayak Kenyah dilarang untuk melewati jalan tersebut. Jadi harus diadakan dulu upacara yang memakan waktu tiga hingga tujuh hari lamanya. Sementara kebutuhan makanan sehari-hari belum terpenuhi.
“Sedikit saja menyalahi aturan adat maka akibat yang diterima adalah kematian”, terang pak Simon lagi.
Anak-anak di kampung Dayak Kenyah pun sudah tidak ada lagi yang memakai anting khas Suku Dayak. Beberapa anak yang saya temui disana mengatakan bahwa mereka sudah malu memakai model anting seperti itu ke sekolah atau ditempat umum dan bahkan di sekolah pun guru-guru mereka melarangnya.
Begitu masuk ke Rumah Lamin, kami disambut oleh Bapak Laing, 42 tahun yang menjadi Kepala Seni di Balai Desa ini. Dia bertanggung jawab atas operasional yang terjadi di Balai Desa. Di Rumah Lamin ini kami disambut dengan tari-tarian khas Suku Dayak Kenyah seperti Kanjet Lasan yang artinya tarian persabahtan dan Tari Lemada Lasan yang harus dibawakan oleh laki-laki.
Di Rumah Lamin tersebut, juga hadir para Tetua adat yang mengenakan pakaian adat Suku Dayak. Jumlah mereka bisa dihitung jari, sangat sedikit sekali. Ini seolah membenarkan cerita Bapak Simon Imang diawal tadi. Mereka tersenyum ramah saat saya menyapa dan menyalami mereka satu per satu.
Saya merasa ada aura magis sesaat Bapak Simon Imang menari tarian Lemada Lasan. Dengan pedang panjang di tangan kanan dan tameng berukir khas Suku Dayak di tangan kirinya. Bergerak kesana kemari dengan iringan musik. Sesekali saya meletakkan kamera saya untuk melihatnya tarian ini secara utuh. Sungguh magis.
Setelahnya, Mba Reni, gadis cantik berparas ayu berusia 26 tahun, menggantikan Bapak Simon Imang. Mba Reni mempersembahkan tarian Kanjet Lasan yang diartikan sebagai tarian persahabatan.
Di kampung Dayak Kenyah ini, saya bertemu dengan dua wanita Suku Dayak. Salah seorangnya masih memakai anting khas Suku Dayak. Beliau pun melempar senyum saat kamera saya arahkan padanya. Ah, priceless sekali.
Tepat disamping Rumah Lamin, terdapat warung sederhana yang digunakan untuk memajang aksesoris-aksesoris khas kampung Dayak Kenyah yang bisa dibawa sebagai oleh-oleh. Peralihan budaya ke arah ekonomi sudah jamak terjadi dimana-mana. Kita pun seolah tidak bisa menyalahkan keadaan tersebut.
Om Cumi berpesan, kalau main ke Kalimantan Timur, jangan lupa main ke Kampung Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang ini ya. Ga jauh dari kota, koq.
Baca juga cerita perjalanan saya lainnya bersama Terios 7 Wonders:
- Jelajah Borneo Bersama Daihatsu Terios Dimulai
- Trekking di Hutan Taman Nasional Sebangau, Kalimantan
- Julia dan Julian, Orang Utan Penghuni Taman Nasional Sebangau
- Mencicipi Lontong Orari Kuliner Malam Khas Banjarmasin
- Susah Payah Menemukan Bekantan di Pulau Kaget
- Pesona Anggrek Hutan Bumi Kalimantan
- Ke Danau Panggang Melihat Kerbau Rawa
- Puas Menyantap Paliat Kuliner Khas Tabalong
- Penangkaran Buaya Pemakan Orang di Teritip Balikpapan
- Terios 7 Wonders Berbagi Lewat CSR di Samarinda
- Mengunjungi Kampung Dayak Kenyah di Desa Budaya Pampang
- Si Raksasa Pohon Ulin di Taman Nasional Kutai
- Kepulauan Maratua Tujuan Akhir Terios 7 Wonders
- Akhir Perjalanan Terios 7 Wonders Borneo Wild Adventure