Hari sudah siang ketika kami berangkat menuju arah Desa Palangi yang berada di Kecamatan Sa’dan Balusu dan meninggalkan kisah dua sejoli Romeo dan Juliet di Londa Toraja. Biarlah kisahnya abadi disana dan menjadi daya tarik wisata di Tana Toraja. Coba jaman dulu ada ‘adek-adekan’ ya, ga bakal jadi begini. Begitulah hidup, kata Jenderal Tian Feng saat menjalani 1001 kisah cinta, deritanya tiada pernah berakhir.
Kak Cumi memacu mobil Daihatsu Xenia agak cepat dari biasanya karena kami belum tahu dimana lokasi arena adu kerbau Toraja itu diadakan dan khawatir jika kami terlambat melihat upacaranya. Setelah tanya sana-sini dan sempat nyasar, kami pun berbelok ke jalan Poros Pangli – Malakiri dan ternyata melewati salah satu objek wisata di Tana Toraja, yaitu Museum Ne’ Gandeng.
Kami terus berkendara mengikuti jalan yang mulai ramai dengan masyarakat lokal yang juga tak ingin ketinggalan menyaksikan adu kerbau ratusan juta itu. Bahkan sempat terjadi macet lokal karena jalan sudah sempit sementara orang-orang lebih memilih memarkir motor dipinggir jalan kemudian menyusuri pematang sawah memotong jalan.
Adu kerbau atau masyarakat Tana Toraja menyebutnya Ma’ Pasilaga Tedong merupakan salah satu rangkaian upacara adat sebelum Rambu Solo (upacara pemakaman). Kerbau merupakan hewan yang memiliki nilai sosial dan budaya yang tinggi di Tana Toraja. Oleh masyarakat Toraja, kerbau ini dianggap sebagai ‘kendaraan’ arwah leluhur/orang mati ke alam baka. Semakin bagus kerbau dan banyak kerbau yang dipersembahkan, maka semakin baik pula perjalanan arwah atau orang yang sudah meninggal.
Karena akan menjadi persembahan saat upacara Rambu Solo, kerbau yang diadu pun bukanlah sembarangan kerbau. Biasanya jenis kerbau bule (Tedong Bonga) atau jenis albino. Juga ada jenis kerbau Saleko, seperti kerbau bule tapi dengan totol-totol (bercak) hitam dipunggungnya.
Kami berhenti disebuah lapangan yang berada persis didepan sebuah gereja yang dijadikan lapangan parkir dadakan. Dari situ, saya, kak cumi dan masyarakat lokal kemudian harus menyusuri pematang sawah menuju lokasi ma’ pasilaga tedong diadakan. Hamparan sawah hijau seluas hampir 180 derajat mata memandang menjadi sajian spesial buat mata kami saat itu.
Kami tiba disana saat upacara sedang berlangsung. Di tengah lapangan yang becek tampak sebuah arak-arakan membentuk lingkaran kecil. Ada pemandu kerbau, pembawa gong, pembawa umbul-umbul dan wanita-wanita berpakaian hitam dari pihak keluarga yang berduka.
Sebelum adu kerbau dimulai, panitia menyerahkan daging babi yang sudah dibakar, rokok, dan air nira yang sudah difermentasi (tuak) kepada pemandu kerbau dan para tamu yang hadir serta kepada para penonton.
Adu Kerbau Toraja dimulai!!!
Tiba saatnya untuk show, panitia kemudian memanggil nama-nama kerbau yang akan bertarung untuk masuk ke lapangan. Bak petinju, kerbau-kerbau itu masuk dari sudut-sudut yang berbeda didampingi pemandunya masing-masing. Pemandu disini memiliki tugas untuk memastikan agar kerbau-kerbau tersebut melawan kerbau yang benar. Tak jarang mereka harus menghalau kerbau yang lari kearah kerumunan penonton. Masyarakat begitu antusias menyaksikan laga tersebut bahkan hingga bersorak ketika salah satu kerbau berhasil menanduk kerbau lawannya.
Pada sesi pertama itu salah satu kerbau yang menang bernama Tekken Langi. Setelah berputar-putar disekitar arena ma’ pasilaga tedong kami kemudian beranjak pulang ke Rantepao. Suatu pengalaman yang luar biasa buat saya bisa melihat langsung sebuah acara budaya yang sudah berlangsung sejak ribuan tahun itu.
Kamu kapan kesana? Kasih komentar dibawah ya!
Happy Traveling