Buton, satu kata yang terlintas dipikiran ketika mendengar kata ‘Buton’ adalah aspal. Pulau Buton yang terletak di Sulawesi Tenggara ini adalah penghasil aspal alam terbesar di dunia. Sudah lama banget, sejak jaman baca RPAL/RPUL sampai jaman Google udah jadi mbah-mbah pun Pulau Buton itu penghasil aspal bahkan hingga menjadi identitas kabupaten Buton itu sendiri. Konon katanya deposit aspal alam yang terkandung didalamnya mencapai 677 juta ton.
Ternyata, selain sebagai penghasil aspal alam terbesar sedunia, Pulau Buton juga menyimpan warisan budaya dan peninggalan sejarah yang memiliki predikat ‘yang ter-sedunia’. Terletak sekitar 3 km dari Kota Bau-Bau, kota utama Pulau Buton, kita bisa mengunjungi Benteng Keraton Buton dengan predikat terluas sedunia. Predikat terluas sedunia ini bahkan tercata dalam buku Guinness Book World Records di bulan September 2006 dengan mencatatkan luas 23.375 ha.
Tak terpikir sebelumnya saya akan melakukan perjalanan ke Pulau Buton, meski akhirnya disesali juga kenapa perjalanan hati waktu itu tak jadi kulakukan. Huft… *eh koq curcol* hehe. Pun kalau ada niat ke Buton adalah karena hasrat pengen ke Wakatobi yang jadi salah satu bucket-list saya dengan catatan saya harus bisa diving dulu. Dan, kota Baubau merupakan tempat transit sebelum ke Wakatobi.
Baca juga: Main ke kampung warna-warni di Bau Bau
Perjalanan saya ke Baubau sebenarnya cukup panjang karena rencananya terlebih dahulu menghadiri pernikahan teman saya di Ereke, Kabupaten Buton Utara.
Gaya bener, ya, kondangan doang mesti ke Buton hehe…
Lasiwa, adalah desa kecil di utara pulau Buton menjadi pintu masuk Saya, Suzana dan Andosy, yang jadi teman perjalanan saya waktu itu. Kami berangkat dari Jakarta menuju bandara udara Haluoleo di Kendari dan langsung menuju sebuah pelabuhan kecil bernama Pelabuhan Amulengo selama kurang lebih 2 jam perjalanan berkendara.
“Babang, ini jalan potong ke Ereke. Dari sini nanti kita naik kapal kayu sekitar 40 menitan”, jelas Susan saat bercerita tentang daerah tempatnya menunaikan tugas PTT sebagai dokter gigi selama 2 tahun.
Benar saja. Setelah menunggu beberapa saat, perahu kayu yang akan kami tumpangi bersandar di dermaga kayu yang sudah tua. Perahu kayu ini menjadi transportasi utama dan penting yang menjadi penyambung dengan kota besar seperti Kendari. Selain rombongan kami, dan beberapa penumpang, perahu kayu berbahan bakar solar ini juga mengangkut dua sepeda motor besar yang hendak ke Pulau Buton.
Eits, perjalanan masih belum usai kawan. Dari pelabuhan Lasiwa, kami masih harus berkendara lagi selama 4 jam melanjutkan perjalanan menuju Ereke. Beberapa hari tinggal di Ereke amat berkesan buat saya, senja yang cantik, tebaran bintang-bintang diatas langit Ereke kala malam tiba, apalagi dengan adanya keluarga baru saya disana, Oom & Tante Linda dan sipintar Daffa.
Nanti saya ceritakan dipostingan terpisah mengenai adat nikah daerah ini.
Sementara itu, Ereke – Baubau kami tempuh kurang lebih 6 jam perjalanan darat. Kami berangkat subuh sekitar pukul tiga pagi menuju Kota Baubau. Jangan tanya jalanannya seperti apa. Buat saya ini cukup ekstrem.
Sepanjang perjalanan menuju Bau-Bau, kondisi jalan rusak, apalagi ditambah dengan debu yang cukup menghalangi pandangan. Mirip waktu perjalanan Terios 7 Wonders kemarin. Mobil yang kami tumpangi ‘dihajar’ mengebut dengan kondisi jalan rusak seperti itu dan tanpa penerangan lampu jalan sama sekali. Cukup bergidik juga melihat kondisi jalan seperti itu, apalagi ditambah cerita bahwa Ereke dan daerah sekitarnya boleh dibilang masih kental akan mistisnya.
Tapi sebenarnya, ga perlu susah-susah jika ingin mengunjungi Benteng Keraton Buton ini. Kota Baubau dapat ditempuh dengan penerbangan langsung dari Makassar menggunakan Wings Air dan Garuda.
Benteng Wolio atau sebutan kerennya Benteng Keraton Buton ini menjadi salah satu bukti sejarah kejayaan Kesultanan Buton. Dibangun pada jaman Sulton Buton III, yaitu Sultan La Sangaji di abad ke-16 dari tahun 1592 hingga 1645.
Jadi, pembangunannya berlangsung selama 50 tahun.
Dulunya, benteng ini dibuat dari bahan batu gunung dengan tambahan ‘adonan’ rumput laut, pasir dan kapur, sebagai perekat alami yang membuat tumpukan-tumpukan batu membentuk benteng tersebut merekat kuat hingga sekarang. Ada juga yang bilang, selain rumput laut, pasir dan kapur, juga ditambah dengan putih telur.
Ketinggian benteng mencapai 8 meter dengan lebar mencapai 1-2 meter. Seperti benteng pada umumnya, disetiap pintu gerbangnya yang berjumlah 12 pintu gerbang, terdapat menara pandang dan juga meriam.
Dulunya, benteng ini merupakan pusat pemerintahan Kesultanan Buton. Didalam kompleks utama benteng kita bisa melihat bangunan-bangunan utama benteng. Pertama yang kami lihat adalah sebuah jangkar raksasa milik kapal VOC yang karam ditahun 1592. Menurut cerita, setelah menaklukkan kapal VOC tersebut jangkarnya yang berukuran raksasa itu kemudian diangkut keatas Benteng Keraton.
Tak jauh dari situ, terdapat sebuah bangunan kecil seperti bangunan pendopo yang dibuat untuk melindungi sebuah batu yang dikeramatkan bernama, Batu Popaua. Batu Popaua ini merupakan batu alam berlubang yang disakralkan karena disinilah tempat pengambilan sumpah para raja atau sultan Buton.
Diatas batu ini, setiap raja atau sultan yang dilantik akan memasukkan kaki kanan dan kaki kiri secara bergantian. Bersamaan dengan itu, payung kebesaran Kerajaan akan diputarkan diatas kepala Raja/Sultan ketika hendak mengucapkan sumpah jabatan dari salah seorang dewan Siolimbona atau semacam anggota DPR-nya.
Kemudian disebelahnya terdapat sebuah bangunan yang menjadi balai pertemuan rakyat.
Masih di area kompleks utama Benteng Keraton Buton, terdapat sebuah Mesjid Agung Wolio atau mesjid Keraton Buton. Saya tak masuk kedalam lokasi mesjid. Konon ceritanya, mesjid ini menjadi pusat pertahanan orang Buton dan hingga saat ini menyimpan banyak sekali misteri.
Salah satunya adanya sebuah lubang pusara yang konon katanya memiliki kaitan langsung dengan Ka’bah di Mekkah. Ada juga cerita yang menyebutkan dari lubang pusara ini, kita bisa menemui anggota keluarga yang sudah meninggal dunia hiiiiii serem abis!!!!
Tepat berada didepan mesjid Keraton Buton ini dan menghadap ke kota Baubau dengan pemandangan laut, terdapat sebuah tiang bendera atau longa-longanyang sudah berusia 300 tahun lebih. Konon ceritanya pohon ini pun bukan pohon biasa. Banyak sekali misterinya ya.
Sebenarnya kami hanya mengunjungi seuprit dari benteng yang luasnya mencapai 23 hektar ini, hanya bagian depan saja. Kalau berkunjung kesini, sebaiknya datanglah agak siang menjelang sore, sehingga bisa menikmati sunset dari atas Benteng Keraton Buton.
***
Kalo liburan ke Bau Bau, jangan lupa mampir ke Benteng Keraton Buton ini, yes! Atau kamu bisa cek juga destinasi wisata di Sulawesi yang lain.