Perjalanan memang tak melulu soal mengunjungi tempat-tempat wisata di daerah yang saya kunjungi. Kali ini perjalanan saya benar-benar berbeda saat menginjakkan kaki di Solo pertengahan bulan September 2018 silam. Saya, kak Eka Situmorang dan beberapa teman travel blogger, videographer dan influencer mendapat mandat dari INAPGOC (Indonesia Asian Para Games Organizing Committee) untuk mengunjungi para inspirasi dari berbagai cabang olahraga di pusat latihan nasional di Kota Solo.
Walau sebenarnya, saya dan Kak Eka Situmorang awalnya berencana untuk menyempatkan waktu mengunjungi beberapa tempat wisata di Solo, setidaknya yang dekat-dekat saja. Saya sendiri sudah sejak lama tidak main ke Solo sejak ratusan purnama lalu. Namun, pikat dan inspirasi para atlet Asian Para Games yang kami temui di Solo justru membuat kami betah seharian menemani, melihat latihan mereka secara langsung.
Tiba siang hari di Kota Solo, saya memutuskan untuk istirahat terlebih dahulu di kamar salah seorang teman saya, Lenny Lim, setelah drama horor di hotel tempat kami menginap hahaha… (yang ini ga usah saya ceritakan, ya!)
Lenny yang sudah siap untuk berangkat ke lokasi latihan membiarkan saya untuk istirahat di kamarnya sambil menunggu kedatangan Kak Eka, ‘tandem’ saya selama di Solo. Lenny sendiri sudah dua hari di Kota Solo, mengunjungi beberapa lokasi latihan dan cabang olahraga. Kami memang dibebaskan untuk memilih cabang olahraga manapun. Lain dengan Lenny yang saya lihat begitu semangat ingin mengunjungi semuanya (kalau bisa).
Semuanya gara-gara para inspirasi yang kami temui. Perasaan yang sama yang kami alami sendiri di hari pertama mengunjungi lokasi latihan mereka.
***
Keesokan harinya sekitar pukul setengah delapan pagi, kami sudah siap meluncur menuju lapangan BBRSBD tempat para atlet panahan berlatih. Disana kami menemui Mas Agus Budiraharjo yang menjadi pelatih panahan. Pagi itu kami tak banyak berinteraksi dengan teman-teman atlet karena sedang sibuk menarik busur, dan menarget sasaran. Hanya sesekali menyapa dan lebih banyak ngobrol dengan pelatihnya. Kami tak ingin mengganggu fokus mereka.
Nyatanya, kedatangan kali kedua sore hari itu lebih asik dan teman-teman atlet lebih terbuka. Mas Noor asal Indramayu malah sudah bisa bercanda.
“Aduh, lagi ga connect ini otak sama sasarannya.”, ujarnya sambil nyengir kepada kami.
Mas Noor ini adalah atlet panahan asal Indramayu, Jawa Barat. Sudah beberapa kali mengikuti ajang internasional dan mendapatkan medali. Ia pula yang menjadi inspirasi Mba Ijah yang berasal dari daerah yang sama dengan Mas Noor.
Kekurangan fisik tak menjadi penghalang untuk bisa berprestasi. Disana, saya dan Kak Eka juga bertemu dan ngobrol banyak dengan Mba Ninik Umardiyani, atlet panahan senior yang sudah berusia 52 tahun. Beliau sudah kehilangan kaki saat kecelakaan bus yang menimpa dirinya diumur 7 tahun saat liburan di Wonosari. Mba Ninik sudah mendulang begitu banyak medali. Terakhir di Malaysia tahun 2017 mendapatkan 2 perak, dan Singapura tahun 2015 mendapatkan 1 perak.
Ia kemudian memilih menjadi atlet panahan karena lebih mudah dibanding olahraga lainnya. Walau awalnya tak mudah ia tetap semangat menjalaninya dan didukung oleh keluarga terutama suaminya. Ia kemudian total berkiprah menjadi atlet panahan hingga saat ini. Fokus menjadi kunci utama, ujar Mba Ninik seraya berpesan kepada kami. Pernah suatu ketika ia harus menghadapi kenakalan anak laki-lakinya saat akan bertanding.
“Kalau aku kepikiran anakku yang nakal, aku ga bisa fokus bertanding, kalah. Aku sudah gagal dua kali”, ujarnya bercerita. Saya dan Kak Eka hanya tersenyum mendengar inspirasi yang terucap dari mulut Mba Ninik.
***
“Aku pengen balik lagi ke panahan besok, Aku pengen banget ngobrol sama Mba Ijah”, kata kak Eka yang saya jawab dengan anggukan setuju.
Sore itu memang latihan sudah usai, kami tak sempat ngobrol banyak dengan Mba Ijah, seorang mantan TKW di Oman yang mengalami kecelakaan bus sepulang dari luar negeri. Keesokannya, kami tiba lebih pagi di lokasi. Senyum mereka tampak lebih lebar melihat kehadiran kami lagi disana.
Berbeda dengan Mas Noor, Ijah baru mengikuti pemusatan latihan nasional di Solo sekitar bulan Mei 2018 yang lalu, dan Asian Para Games 2018 ini menjadi event pertamanya. Diatas kursi roda, ia terlihat malu-malu saat diwawancara oleh Kak Eka. Namun begitu, ia tetap mau bercerita tentang kehidupannya dulu. Bagaimana depresinya ia dulu saat mengetahui tak memiliki kaki lagi layaknya orang normal. Selama 7 tahun ia berdiam diri di rumah saja, takut bersosialisasi, marah, bahkan sempat ingin mau mati saja.
“Rasanya pengen mati saja”, ujar Ijah bercerita.
Semangat dan pantang menyerah terlihat dari teman-teman atlet ini. Pun begitu dengan Mba Ijah yang tak mau menyerah dan patah semangat. Pertemuannya dengan Mas Agus Budiraharjo kemudian membawa jalan baginya hingga menjadi atlet panahan saat ini.
“Keluarga mendukung, teman-teman juga mendukung, lagian saya bosan di rumah saja”, ceritanya lagi.
Pagi menjelang siang, Saya dan Kak Eka menyudahi kunjungan kami sekalian berpamitan. Mendoakan yang terbaik buat mereka di pertandingan nanti. Kami berjalan keluar kompleks sambil sumringah. Tujuan kami selanjutnya adalah mengunjungi tempat latihan Power Lifting (angkat beban).
Selama di Solo, Saya dan Kak Eka mengunjungi dua cabang olahraga, yaitu panahan dan angkat beban (power lifting). Panahan pagi dan sore hari, sementara angkat beban di siang hari. Kami kembali menemui Mas Coni Ruswanta, pelatih angkat beban, dan menyapa teman-teman atlet yang sudah kami temui sehari sebelumnya.
Suasana di kantor NPC (National Paralympic Committee) Indonesia lantai 3 yang menjadi pusat pelatihan cabang olahraga angkat beban cukup berbeda dengan suasana latihan di lapangan panahan sebelumnya. Teriakan-teriakan dari para atlet saat mengangkat beban dan motivasi-motivasi para pelatih bersahut-sahutan silih berganti.
Selama 6 bulan penuh, para atlet panahan berlatih 2 kali dalam sehari, pagi dan sore hari. Mereka berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Selama latihan mereka harus jauh dari keluarga. Seperti Mas Noor, dan Mba Ijah yang berasal dari Indramayu, atau Bang Natar asal Kalimantan Selatan yang harus meninggalkan putri kecilnya yang baru lahir, atau Kak Merry Purba yang menjadi langganan medali angkat beban, harus meninggalkan keluarganya di Aceh sana.
Pengalaman mengunjungi dan melihat para inspirasi dan para pahlawan bangsa di bidang olahraga ini begitu berkesan bagi saya pribadi. Mba Ninik yang masih semangat bertanding walau sudah berusia 52 tahun, atau Mba Ijah yang tak mau berdiam diri saja di rumah atau Mas Atmaji yang tak mau hanya menjadi penjual koran saja.
Melihat dan mengenal mereka lebih dekat, walau dengan keterbatasan fisik mereka tetap semangat menjalani hidup bahkan berprestasi sekaligus menginspirasi.
Kita hanya cukup mendukung mereka!
Sebentar lagi, teman-teman saya ini bakal berjuang mewakili bangsa kita. Sayang, saya tidak bisa hadir di Jakarta untuk melihat mereka bertanding dan mendukung mereka secara langsung.
***
Karena keasikan dengan teman-teman atlet, kami cuma menyempatkan untuk main ke Keraton Kasunanan Surakarta saja, walau hanya untuk naik becak keliling keraton sebelum ke bandara.