Udara pagi yang dingin membangunkan saya yang tidur hanya beralaskan kasur tipis. Saya malas sekali beranjak dan hanya menoleh melihat mas Harris Maul disebelah kanan yang tampak masih pulas, sementara disisi lain dengkul mas Fahmi Catperku tepat mengarah diwajahku. Padahal hari ini kami mau melihat orang utan kalimantan secara langsung.
Sebagian dari kami tidur umpel-umpelan di ruangan paling besar di rumah kayu yang menjadi markas besar WWF di Taman Nasional Sebangau itu mengambil posisi tidur masing-masing senyaman mungkin sementara yang lain mengisi kamar-kamar yang kosong.
Kita di hutan, bro.
Entah kenapa saya bisa bangun subuh-subuh begini. Mungkin karena pesan Pak Endi (ketua geng kami) tadi malam yang mengingatkan kami untuk bangun cepat agar dapat melihat orang utan menjadi alarm alami saya.
Posisi saya masih tak beranjak sejak tadi sementara mata saya menatap langit-langit. Melamun. Bingung tak tahu mau berbuat apa dan diluar pun masih gelap hingga terdengar percakapan absurb, karena pelakunya saya sendiri.
“hmm… enaknya ngapain ya”, batin saya.
“hmm … apa ngedraft aja ya kan udara dingin, sepi pula, cocok bangetlah sama gue”, kata saya lagi dalam hati.
“Tapi kan ga bawa laptop”, kata saya lagi.
“Lah, kan bisa di hape saja”, kata saya yang lain yang langsung disambut saya yang satunya.
“tapi kan males subuh-subuh ngedraft”,
“Auu ahh… derita looo @#%$%#$%”, toyor diri sendiri.
Saya kemudian flashback ke malam tadi saat tim Terios 7 Wonders “Borneo Wild Adventure” bincang-bincang santai dengan bapak kepala desa, beberapa penduduk Desa Keruing, dan orang-orang WWF yang banyak cerita mengenai aktifitas mereka di tempat ini.
Bapak Andiliani, Kepala Desa Keruing memulai cerita tentang adanya tahyul yang sudah didengarnya sejak dulu bahwa orang utan disini dianggap sebagai ‘penunggu’ hutan Kalimantan sehingga tak boleh diganggu. Jumlah populasi orangutan yang ada di Taman Nasional Sebangau ini (Punggualas) berjumlah sekitar 6000-9000 individu. Paling tua berumur sekitar 30 tahun dan orang utan kecil akan bersama dengan induknya hingga berumur 8 tahun sebelum hidup sendiri.
Baca info lengkap tentang orang utan kalimantan disini dan disini.
Ada satu pertanyaan yang cukup menggelitik sewaktu bapak itu menyampaikan jumlah populasi orang utan disini dengan sebutan individu.
“Koq individu dan bukan ekor?”
Para petugas WWF disini tak menyebut jumlah orang utan dengan sebutan ekor karena memang mereka (orang utan) tak punya ekor. Hmm… masuk akal juga ya hehe.
Orang utan disini memiliki sifat hidup menyendiri dan tinggal diatas pohon (arboreal). Mereka hidup liar, bahkan para peneliti tak mau berinteraksi langsung dengan orang utan. Untuk melakukan penelitian, seperti mencatat perilaku-perilakunya, petugas hanya mengamati dari jauh saja.
Biasanya para peneliti itu sudah berangkat dari basecamp subuh sekali, lanjut pak Andiliani berkisah. Mei hingga September 2015 ini, ada sekitar 30 individu orang utan yang sedang diteliti, diberi nama dan diidentifikasi.
Masih cerita pak Andiliani, orang utan yang memiliki kemiripan sekitar 97% dengan manusia punya keunikan perilaku, lho.
Misalnya, kalau pejantan dominan jika ingin kawin *nyimak serius* tidak akan begitu saja memaksa jika betinanya sedang tak ingin kawin, namun akan menunjukkan perilaku galau-kesel-nya dengan mengamuk ke pohon. Berbeda dengan orang utan remaja yang cenderung memaksa.
Hayooo… kamu tipikal yang mana? *eh hahaha…
Perilaku orang utan yang lain dapat kita pelajari disini, misalnya, Kiss Quick, jika orang utan mematahkan dahan dan melemparkannya ke bawah, ini artinya orang utan tersebut tidak suka dengan kehadiran manusia. Ada juga istilah Long Call, yang dapat diartikan orang utan menandai daerah kekuasaan orang utan jantan.
Uniknya lagi, selain makan buah karipak (rasanya seperti buah kelapa), orang utan juga memakan rayap yang terdapat dipohon-pohon yang sudah mati. Pohon yang sudah mati ini akan dirobohkan oleh orang utan untuk memakan rayap. Apabila rayap sudah habis, pohon-pohon yang roboh itu akan disusun dengan rapih. Suatu saat dia akan kembali ke robohan pohon tersebut untuk memakan rayap-rayap kembali. Pinter ya!!
Pagi itu kami sudah siap masuk hutan lagi untuk melihat orang utan bernama Julia dan anaknya Julian. Dari basecamp, kami ditemani oleh pak Hamdika harus menyusuri jalan kayu hingga 300 meter kemudian berbelok masuk hutan sampai 600 meter. Sebelumnya, sudah ada petugas yang berangkat pagi-pagi sekali untuk melakukan pengamatan (tugas mereka sehari-hari). Trekking masuk hutan sejauh 600 meter ternyata sudah cukup membuat kami berkeringat lagi pagi itu. Hingga kami mendengar teriakan kecil dari tim pendahulu yang menandakan lokasi Julia dan Julian berada.
Mereka, Julia dan Julian, berada dipucuk sebuah pohon sedang menikmati makanan. Cukup sulit melihat dari bawah karena tertutup dedaunan dan sedikit asap. Sebenarnya kami datang agak terlambat karena jam makannya sudah habis. Orangutan disini memakan buah karipak dari pohon Sagagulang yang memang banyak terdapat di Taman Nasional Sebangau ini. Ada sekitar 30 menit lebih kami menunggu dibawah sambil sesekali dongak keatas memicingkan mata mengambil gambar Julia dan Julian.
Tak lama setelahnya, Julia, orang utan yang kami temui di Taman Nasional Sebangau ini beranjak pergi dari tempatnya semula, pindah dari satu pohon ke pohon lain. Mungkin dia sudah tidak betah dengan kehadiran kami.
Orangutan disini memang hidup liar, mungkin agak berbeda dengan orang utan yang ada di Taman Nasional Tanjung Puting yang dapat berinteraksi (secara terbatas) dengan manusia, misalnya kita dapat melihat secara dekat pemberian makan.
Menurut pak Kades Andiliani, wisata TN Sebangau belum serius dikembangkan dan masih dalam tahap persiapan. Saat ini yang sedang berlangsung (selain penelitian orang utan) adalah penelitian untuk jenis capung dan kupu-kupu yang memang banyak terdapat di taman nasional ini. Rencananya, di bulan Desember tahun ini, hasil riset tersebut akan dibukukan. Kita doakan saja yang terbaik untuk taman nasional ini, berikut segala upaya pelestarian flora dan fauna yang bertempat tinggal dihutan kalimantan ini serta menjauhkannya dari kerusakan seperti pembakaran hutan. Beneran deh, selama menjalani trip disana, kabut asap sangat mengganggu pemandangan. Untuk melihat Julia dan Julian pun menjadi susah karena pemandangan terganggu dengan kabut asap ini.
Kami pun harus menyudahi aktivitas kami melihat-lihat rumah Julia dan Julian orang utan penghuni Taman Nasional Sebangau ini. Tempat-tempat eksotis khas Kalimantan sudah menunggu tim Terios 7 Wonders Borneo Wild Adventure diperjalanan selanjutnya.
Yang paling dekat, trekking 2 jam melewati jalur yang sama dengan yang kemarin sudah menunggu kami, tapi kali ini lebih mahir hehe. Jika kita beruntung, kita bisa menemukan salah satu hewan endemik juga disini, yaitu Burung Paruh Kodok Kalimantan (Bornean Frogmouth Batrachostomus Mixtus).