Pagi dini hari, lebih tepatnya subuh sekitar pukul 3, saya masih saja gelisah di atas tempat tidur Hotel Vila Lumbung tempat kami menginap. Tak lain tak bukan karena tak bisa tidur, mengingat jam tidur saya saat ini masih ‘normal’ untuk ukuran kalong.
Padahal, rencananya subuh sekitar pukul 4:30, kami akan berangkat menuju Desa Pinggan Kintamani. Setelah dipaksa, saya hanya mendapat tidur kira-kira satu jam saja.
“Nanti saja dilanjut di mobil, saya kan supir infal”, begitu batin saya.
Berlima, saya, Kak Atre, Shu, Nat, dan Calvin, kemudian berangkat menembus gelapnya jalanan bali yang sepi dengan kecepatan diatas rata-rata. Saya pun baru tertidur sekitar sejam dengan kepala kejedat-kejedut jendela mobil mengikuti laju. Apalagi menjelang tiba di Desa Pinggan yang jalannya berkelok-kelok.
Sekitar pukul enam lewat sedikit, kami pun tiba di salah satu spot terkenal untuk melihat Desa Pinggan dari ketinggian. Jadi, jangan tanya saya di mana lokasinya ya. Saya hanya tahu letaknya masih sekitar 30 menit dari Penelokan Kintamani.
***
Matahari sudah bersinar ketika kami tiba di lokasi. Sudah banyak mobil yang parkir di sana pun dengan pengunjung tempat ini. Saya akui pemandangan dari atas sini cukup bagus apalagi disinari mentari pagi.
Sayang, cuaca tak begitu mendukung. Kabut pagi itu seolah menjadi layar bagi kami. Sesekali pemandangan terbuka sedikit menunjukkan Desa Pinggan dari atas sini. Kemudian tertutup lagi dengan kabut yang tebal. Selain itu, angin dan hujan gerimis turut pula ambil peran pagi itu. Walau begitu kami cukup enjoy menikmati keindahan Desa Pinggan Kintamani dari atas sini.
***
Selepas dari Desa Pinggan, kami masih belum memiliki tujuan yang jelas, bahkan sampai ingin langsung pulang saja ke Seminyak. Pun saat selesai menyantap semangkuk indomie kuah dan kopi panas di sekitar jalan Kintamani dekat Penelokan, tak jua muncul ide destinasi selanjutnya.
Kami hanya terbahak-bahak saja tanpa hasil. Hingga akhirnya ditetapkanlah kalau destinasi selanjutnya adalah Tulamben, yang notabene berjarak 2 jam perjalanan dari Kintamani hahaha.
Perjalanan kemudian berlanjut menuju Tulamben mengambil jalur ke arah Besakih, menyusuri tenangnya hutan pinus yang menjulang tinggi disertai gerimis. Obrolan ngalor-ngidul disertai canda tawa kemudian hening.
Saya pun demikian, sadar sebentar lagi waktu shift supir infal. Akhirnya memaksa diri tidur untuk mengumpulkan energi selanjutnya.
Saya terbangun sejenak saat tiba di suatu lokasi mendekati Tulamben. Samar-samar terdengar kalau teman-teman saya ini sedang kesasar mencari jalan menuju salah satu spot instagramable dengan latar Gunung Agung.
Tulamben siang itu benar-benar berbeda 180 derajat dengan Kintamani. Langit cerah dan panas.
Kali ini giliran saya yang membawa mobil. Shu yang menjadi navigator di sebelah saya kemudian menunjukkan arah menuju satu lokasi lagi. Ia sudah pernah berkunjung kesana. Katanya, tempat itu memiliki pemandangan yang bagus dengan ilalang yang sudah menguning.
Iya, tujuannya ke Tulamben cuma mau mencari spot dengan ilalang yang bagus buat kak Atre.
Kami kemudian memasuki sebuah jalan kecil yang sangat sepi. Shu menyuruh saya memperlambat laju mobil sembari Ia mencari-cari sebuah batang pohon yang menjadi patokan di kiri jalan hingga kami tiba di lokasi.
Beginilah sesungguhnya keindahan Bali itu, tanpa embel-embel wisata. Cukup sebuah bukit kecil dengan hamparan ilalang yang menguning. Keindahan dari atas sini benar-benar bikin saya berdecak kagum. Di sisi sini terlihat Gunung Agung yang megah, sisi sana lautan plus angin yang berdansa kian kemari. Tak apalah jauh-jauh berkendara kesini.
Begitu pun dengan saya:
Cukup lama kami menikmati tempat ini, tentunya selain mengambil beberapa gambar #demikonten di linimasa. Saya pun cukup lama terduduk di sebuah pohon menikmati terpaan angin yang kian lama semakin kencang saja.
Hingga tersadar, saatnya pulang, sekian jam lagi menuju Seminyak.
Sampai ketemu di trip impulsif berikutnya.
___
All images shoot by Sugianto Shu (Go follow him)