“Akhirnya saya ke Pantai Sawarna”, batin saya dalam hati.
Selama ini memang banyak tawaran dari teman-teman atau open trip dari penyelenggara trip yang kebetulan teman juga. Akhirnya saya punya kesempatan juga untuk ber-wiken-an ria kesini.
Kebetulan kunjungan saya dan teman-teman waktu itu saat long weekend karena bertepatan dengan Hari Raya Nyepi buat saudara-saudara kita umat hindu. Kesempatan ini pula yang menjadikan Desa Sawarna kebanjiran pengunjung.
Ada yang datang dengan temannya, keluarganya sampai rombongan klub-klub motor ga berhenti datang bahkan hingga malam hari. Alhasil, semua homestay disana sudah full, jangan coba-coba untuk datang dan cari homestay disana tanpa memesan terlebih dahulu.
Meski begitu, tak banyak juga yang risau mau tidur dimana, karena terdapat pendopo-pendopo (saung) yang didirikan oleh pemilik warung. Cukup sadar diri saja dengan jajan di warungnya.
Camping di Pantai Sawarna
Saya dan keenam teman saya yang lain memang sepakat memilih berkemah di pinggir pantai. Oh ya, Pantai Sawarna ini sebenarnya bernama Pantai Ciantir, namun orang-orang lebih mengenalnya dengan dengan sebutan dengan Pantai Sawarna, karena letaknya yang memang berada di Desa Sawarna.
Selain murah meriah, camping adalah salah satu cara untuk menikmati keindahan alam pantai meski awalnya sempat was-was karena langit sedikit mendung. Untung saja cuacanya sangat mendukung.
Kapan lagi ‘kan bisa camping di Pantai Sawarna?
Kami berangkat dari Jakarta sekitar pukul 7 pagi menggunakan mobil pribadi, sudah agak telat sih, karena jalanan bakal macet mengingat itu adalah long weekend. Benar saja, tol arah ciawi—sukabumi sudah padat merayap.
Rute yang akan kami tempuh menuju Desa Sawarna adalah lewat Sukabumi karena memang berbatasan dengan pelabuhan ratu di Jawa barat. Estimasi menggunakan mobil pribadi itu sekitar 7-8 jam dan jalan yang berkelok-kelok.
Kami tiba sekitar pukul 4 sore, dari parkiran kita harus menyebrang sungai dulu melewati jembatan gantung. Jembatan ini hanya bisa dilalui satu arah saja, sehingga harus gantian dengan penyebrang dari sisi lain.
Saat ramai, jembatan ini bisa juga loh macet. Budaya egoisme dan ‘emoh ngalah’ ala jalanan Jakarta tiba-tiba saja hadir disitu, tidak mau bergantian, tan..tin..tan..tin.. klakson motor dan sorakan-sorakan keluhan untuk saling-gantian turut ‘menggoyang’ jembatan itu. Huff…
Harga tiket masuknya terbilang murah, hanya sebesar 5 ribu rupiah (saat kunjungan). Setelah membayar tiket masuk, masih harus jalan lagi menyusuri rumah-rumah penduduk yang hampir dan mungkin keseluruhan sudah menjadi homestay yang disewakan bagi pengunjung, hingga tiba di Pantai Ciantir.
Ahh.. untung kami masih sempat menikmati sunset di Pantai Sawarna sejenak sambil mendirikan tenda.
Mampir ke Tanjung Layar juga
Oh ya, selain itu, terdapat juga Pantai Tanjung Layar yang tak kalah menariknya.
Kalau Pantai Sawarna itu pantai berpasir putih lembut, nah, Pantai Tanjung Layar berbeda karena terdiri dari karang-karang dan ombak yang lebih besar dibanding tetangga sebelahnya. Dari Pantai Sawarna, kami hanya tinggal berjalan ke arah timur, tidak jauh beberapa ratus meter saja.
Baca juga: Pesona Pantai Ngurbloat, pantai pasir putih nan lembut di Pulau Kei
Disebut Tanjung Layar karena pantai ini memang terletak di sebuah tanjung dengan 2 buah bongkah batu raksasa hingga menyerupai layar sebuah kapal. Kalau dilihat-lihat sih memang mirip sebuah kapal besar yang karam, sekarang lambungnya menjadi semacam kolam kecil bagi makhluk-makhluk air yang cukup menggelikan buat saya.
Baca juga: Daftar pantai di Indonesia yang pernah saya kunjungi, semuanya rekomen banget