Kalau kebanyakan orang memberi tips mendaki gunung, mulai dari persiapan fisik, persiapan peralatan yang dibawah maupun saat mendaki gunung, tips mendaki gunung saya kali ini justru agar menjaga kesehatan sebelum pendakian itu sendiri.
Jangan seperti saya, sudah persiapan, malah tepar di tempat tidur rumah sakit hahaha
Gimana ceritanya? Monggo dibaca kebawah!
***
Rabu, tepatnya 13 Mei 2015, pesawat yang saya tumpangi dari Bandar Udara Internasional Juanda, Surabaya mendarat dengan selamat pukul 10.45 di Lombok setelah sebelumnya dolan dulu di Kota Malang selama beberapa hari.
Di bandara inilah saya akan menunggu teman-teman lain untuk nantinya berangkat menuju basecamp Sembalun pada malam hari. Kami akan mulai pendakian Gunung Rinjani yang memiliki ketinggian 3.726 mdpl selama 5 hari ke depan.
Setidaknya begitulah harusnya permulaan cerita saya mewujudkan sebuah perjalanan ke sebuah tempat impian. Ya, perjalanan mendaki gunung Rinjani adalah salah satu bucket list yang sudah saya rencakan dua tahun sebelumnya sejak menginjakkan kaki di Gunung Semeru.
“Lho, koq gitu, bang?”
Gini ceritanya!
Persis satu minggu sebelum tanggal keberangkatan, ditanggal 6 Mei tengah malam saya merasa ga enak badan setelah malam harinya bolak-balik kamar mandi karena diare.
Doh! Ini pasti gara-gara makan ayam penyet puedeess malam itu. Perut saya memang perut kampung yang ga doyan pedes. Tapi dodolnya, tetap saya paksakan memakan ayam itu. Saya coba untuk berpikir positif bahwa besok kondisi bisa lebih baik.
Nyatanya. Kesehatan tak berpihak pada saya. Dini hari menjelang laga semifinal Liga Champion antara Real Madrid dan Juventus, saya menggigil hebat disertai demam. Tak cukup dengan selimut, bedcover pun saya pakai juga tapi masih tetap menggigil. Hingga pagi harinya saya bangun pukul 9 pagi dengan keadaan masih lemas. Oh, tidak.
Waktu sudah sempit menjelang tanggal keberangkatan, secara otomatis persiapan saya menjadi berantakan pula. Demam sudah turun dan sorenya saya pergi ke dokter di Klinik yang ada di dekat kosan.
Tak sampai dua menit saya curcol tentang apa yang saya derita, cek perut buncit saya sebentar, lantas memberi resep obat untuk ditebus.
Heh?? Gitu doang?
Malamnya, setelah makan malam ala kadarnya plus makan obat, saya langsung istirahat, dan ternyata demam saya naik lagi. Sepanjang malam itu saya muntah-muntah, bolak-balik kamar mandi (masih diare), dan tidur pun ga nyenyak banget. Bangun karena harus ke kamar mandi, kemudian minum air putih, kemudian muntah lagi. Begitu seterusnya. Hingga pukul 5 pagi kondisi saya sudah lemas sekali karena kehilangan cairan tubuh, saya meminta tolong adek laki-laki untuk dibawa ke rumah sakit.
Jadilah saya mendekam terkulai lemas tak berdaya di rumah sakit selama 4 hari. Besoknya saya kabari teman satu group bahwa saya tidak bisa ikut mendaki Rinjani. Optimisme saya sudah berkurang drastis sejak masuk rumah sakit, meski masih memiliki sedikit harapan.
Hmm… terdengar memaksakan, sih, lebih tepatnya, hehehe (tips lainnya, jangan memaksakan diri)
***
Minggu sore, tanggal 10 Mei, saya sudah diizinkan pulang.
Disini optimisme saya kembali muncul. Tanggal 13 Mei, kan, masih beberapa hari lagi, cukuplah istirahat (dan entah darimana hitungannya). Rencana dolan Malang memang sudah otomatis batal total dan tiket pesawat Surabaya—Lombok tak apalah hangus, nanti disana sewa porter saja.
Begitulah pikiran (dodol) saya.
Kemudian, saya cek tiket pesawat Jakarta—Lombok, omaigat—ckckck—geleng kepala, tiketnya mahal bange. Kemudian, saya melihat tangan kiri tempat infus bercokol selama beberapa hari masih berasa lemas karena susah banget menggenggam erat.
Gimana mau angkat carrier kau, bang? Huh? Kemudian, toyor kepala sendiri.
FIXED BATAL!
Sejak perjalanan saya mendaki gunung Semeru, saya jadi lebih peduli dengan persiapan terutama fisik saat merencanakan mendaki Rinjani. Karena pengalaman waktu di Semeru kedua lutut saya sempat cedera saat menuruni puncak Mahameru.
Eh, tapi ternyata saya lupa. Pola makan saya kurang terjaga selama ini. Tidur seenaknya (sering tidur dini hari), makan pun seenaknya tidak dijaga. Demen banget makan indomie, masih suka ngopi-ngopi ganteng di café, doyan banget cocacola dan teh botol sejenisnya, apalagi menjelang keberangkatan.
Pantes saja selama ini merasa tak sukses membuat badan fit, meski sudah melakukan olahraga (jogging, fitness, dan renang) *lirik perut
Seharusnya bisa menikmati keindahan Rinjani bareng teman-teman saya, Jacky, Lebe, dan Ade.
***
Jadi kawan, mendaki gunung tidaklah mudah. Butuh persiapan yang matang, baik fisik, mental dan tentu saja kesehatan juga, apalagi uang.
Inilah salah satu pembelajaran yang saya dapat dari (sebelum) mendaki gunung Rinjani. Tiket-tiket hangus, biaya rumah sakit bikin bangkrut bye-bye dua biji GoPro
Walau begitu, saya tak kapok. Rinjani tetaplah menjadi tujuan impian saya. Saya tetap akan kesana sambil mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Trus kapan nikahnya?