Cerita perjalanan waktu mendaki Gunung Semeru ini sudah beberapa tahun silam. Saya ga sampai ke Puncak Mahameru walau tinggal beberapa ratus langkah lagi (mungkin). “You’re closer than you think” kalau kata pembaca yang komentar dibawah. Meski begitu, kenangan tiap jengkal perjalanannya saya ingat dan begitu membekas di hati saya hingga saat ini. Makanya mau di share lagi.
Selamat membaca, gaes!
***
Saya kembali lagi ke Kota Malang. Tujuan saya kali ini mendatangi Kota Malang adalah untuk mendaki Gunung Semeru. Menurut saya, kota apel ini seolah menjadi gerbang masuk ke beberapa lokasi menarik yang harus dikunjungi. Terakhir kali dari kota itu, saya punya pengalaman seru saat perjalanan ke Gunung Bromo dan berjanji untuk kembali. Meski hanya menumpang lewat saja, lama-lama saya jatuh cinta juga dengan kota ini.
Dengan jadwal yang sama pada waktu itu, Kereta Api Matarmaja yang saya tumpangi tiba pagi hari di stasiun Kota Baru, Malang. Sehabis beberes, mandi dan sarapan pagi. Rombongan kami yang berjumlah 15 orang menyewa angkot dari depan stasiun menuju tempat penyewaan mobil hardtop di daerah pasar Tumpang yang telah kami pesan sebelumnya.
Baca juga: Kini makin mudah pesan tiket kereta api lewat aplikasi KAI Access.
Ya, dalam beberapa hari berikutnya, saya dan teman-teman di komunitas Backpacker Indonesia akan melakukan pendakian ke Gunung Semeru yang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa. Tinggi Gunung Semeru yang mencapai 3676 mdpl, sudah cukup membuat jantung saya berdegub kencang saat membayangkan tingginya.
Ini adalah kali pertama saya mendaki gunung. Perasaan saya berkecamuk. Dalam hati terus bertanya, apakah saya mampu mendaki hingga ke Puncak Mahameru? Bahkan seorang senior yang saya ajak ngobrol di Ranu Kumbolo sempat berkata sinis kepada saya:
“Sekalinya mendaki gunung langsung yang tertinggi di Pulau Jawa hahaha…”.
Menurut kamu, saya bakal sampe ke Puncak Mahameru ga? Baca terus kebawah, ya!
Menuju Pos 1 Ranupani Gunung Semeru
Lama perjalanan dari pasar tumpang menuju pos pertama Ranupani sekitar 2 jam lebih dengan rute menanjak. Memasuki gerbang pertama, kita akan disuguhi pemandangan jurang nan indah sebelah kanan, dan Bromo disisi kiri. Kami sempat berhenti untuk istirahat sebentar dan melihat pemandangan disini.
Perjalanan kami lanjutkan lagi dengan jalan yang terus menanjak. Disisi kiri dan kanan tak jarang saya melihat ladang-ladang penduduk lokal di lereng bukit yang seolah tertata sedemikian rupa sehingga terlihat cantik. Seperti lukisan saja.
Awal bulan Mei 2013 waktu itu, banyak sekali kendaraan baik motor, jeep maupun truk yang mengantar para pendaki ramai lalu lalang, silih berganti. Saya baru ingat, ternyata waktu itu sedang long weekend Kenaikan Isa Almasih. Pantas saja.
Sekitar pukul 12 siang rombongan kami tiba di Pos Ranupani, pos pertama dalam rangkaian pendakian Gunung Semeru. Udara dingin mulai begitu terasa, kabut tipis menutup beberapa bagian. Pos Ranupani berada diketinggian 2100 mdpl.
Di pos ini, setiap pendaki, harus mendaftar dulu dan melengkapi dokumen-dokumen persetujuan, fotokopi identitas, check list peralatan rombongan.
Saking ramenya antrian, dokumen-dokumen baru selesai di proses hingga jam 3 sore.
Pendakian Gunung Semeru dimulai
Setengah empat sore, kami briefing dan berdoa dulu agar semuanya berjalan dengan lancar. Perlu diingat bagi pemula, jika sudah merasa lelah agar tidak ragu untuk mengatakannya.
“Satu saja lelah, semua harus istirahat”. begitu ujar salah seorang teman
Selamat datang para pendaki Gunung Semeru.
Estimasi pendakian dari Pos Ranupani menuju pos Ranu Kumbolo sekitar 5-6 jam. Kami sendiri tidak menargetkan untuk mencapainya. Jalan santai semampu kita, apalagi kebanyakan adalah pendaki pemula. Termasuk saya.
Tanjakan pertama kami dapati adalah setelah gapura ‘Selamat Datang’. Curamnya kemiringan sudah cukup membuat kami (para pemula) mulai ngos-ngosan kelelahan.
“BREEEEEAK…BREEEEAKK…!! Kita istirahat dulu sebentar”, teriak seorang teman saya.
Bulir-bulir keringat sebesar jagung pun sudah membasahi baju saya. Tiba-tiba saya terbayang harus melalui medan seperti itu untuk 5 jam kedepan.
“Haduuuh mak”, batin saya. Tapi pendakian harus tetaplah berlanjut.
Dalam dua jam perjalanan kami tetap ‘konsisten’ untuk selalu break, sedikit-sedikit istirahat, jalan sebentar istirahat lagi hehe.
Pinggul dan pundak sudah nyut-nyutan menahan beban carrier. Tapi setelah itu sudah semakin terbiasa, nafas sudah semakin teratur dan jarak yang ditempuh pun sudah cukup jauh sebelum istirahat (lagi). Seandainya saya mengikuti saran teman saya waktu itu agar rajin berolahraga beberapa minggu sebelumnya, setidaknya jogging tiap pagi. Penyesalan memang selalu datang terlambat, ya, kalau diawal pendaftaran namanya.
Malam menjelang sementara perjalanan kami masih jauh. Kami harus hati-hati dan waspada jika ada lubang, jalur yang menyempit, akar pohon, dan lainnya dapat membahayakan. Ketika sudah merasa capek, saya menyemangati diri sendiri ‘bisa..bisa..bisa..’ selangkah demi selangkah. Hanya fokus ke langkah sendiri dan tidak mau melihat cahaya lampu di seberang gunung sana yang cukup menggoda.
Pukul 9:30 malam, sudah 5 jam berjalan akhirnya kami tiba di Ranu Kumbolo (2400 mdpl).
Di Ranu Kumbolo sudah banyak sekali tenda berdiri, dan ternyata lebih banyak lagi dekat tanjakan cinta disisi satunya lagi. Hawa dingin langsung terasa menusuk hingga ke tulang. Beberapa teman segera mendirikan tenda. Saya tidak ikut membantu khawatir malah jadi perusuh karena tidak tahu apa-apa tentang tenda, apalagi saya sudah mengigil kedinginan seperti hampir kena hypotermia.
Saya buru-buru nimbrung dekat api unggun tetangga sebelah untuk mencari kehangatan. Tempat senior yang tadi berkata sinis.
Ahh.. akhirnya bisa istirahat juga. Niat mau foto keindahan langit malam Ranu Kumbolo dengan bintang-bintangnya pun urung saya lakukan.
Dasar kabut, selalu datang diwaktu yang tidak tepat.
Suasana Pagi di Ranu Kumbolo
Suasana pagi di Ranu Kumbolo benar-benar memikat hati saya waktu itu. Langit biru, kabut dan danau Ranu Kumbolo menjadi satu perpaduan yang pas sambil meneguk secangkir kopi hangat. Perjalanan beberapa jam dari Ranupani ditambah dengan penantian malam sangat sepadan buat saya yang baru pertama kali ke Gunung Semeru.
Satu keindahan Gunung Semeru di danau Ranu Kumbolo ini seolah menambah beberapa bar energi saya. Perjalanan kedepan masih panjang.
Jam sembilan pagi, perjalanan kami kami lanjutkan menuju Kalimati.
Eits, namun sebelum itu, kita harus lewat ‘tanjakan cinta’ dulu. Bukit kecil dengan tingkat kemiringan yang cukup curam. Benar-benar perjuangan memang, sesulit memperjuangkan cinta beda agama *eaaaa skip.
Setelahnya, hamparan lavender sudah ada didepan mata. Sungguh pemandangan yang memanjakan mata. Dalam perjalanan sekitar 5 jam lagi menuju Kalimati, sesekali kami melihat Gunung Semeru.
Intensitas debu vulkanik Gunung Semeru semakin terasa saat kami tiba di Kalimati yang berada di ketinggian 2700 mdpl. Setelah mendirikan tenda, kami harus segera beristirahat untuk memulihkan tenaga.
Menuju Puncak Mahameru
Malam yang ditunggu pun tiba, setelah briefing singkat, berdoa dan saling mendoakan, sekitar jam 11 malam kami memulai jalan menuju Arcopodo diketinggian 2900 mdpl. Jangan harap lagi ada trek landai apalagi menurun, semuanya menanjak. Jalur pendakian Mahameru saat itu rame sekali seperti lagi mengantri sembako.
Selangkah demi selangkah. Meski selangkah saja sudah berat sekali.
Ternyata kami melakukan kesalahan sangat fatal.
Kami tak membawa persediaan air minum yang cukup. Hanya 2 botol air minum untuk 15 orang? Saya sendiri bawa 1 botol minum yang kecil dan itu sudah habis saat baru mulai menanjak puncak Mahameru.
Naik sepuluh langkah, istirahat. Naik beberapa langkah, istirahat. Begitu seterusnya. Teman-teman yang lain pun beberapa sudah tidak kelihatan, ada yang masih ketinggalan dibawah. Tentu saya tak kesepian karena pendakian begitu ramai.
Persedian air minum sudah habis. Disetiap langkah, berdua dengan teman saya mengincar belas kasihan dari para pendaki yang lagi istirahat sambil minum air.
“Mas, bisa bagi air minumnya?”, tanya saya kepada salah seorang pendaki yang lewat.
“Maaf mas, tinggal sedikit juga”, sahutnya dengan wajah yang kehausan juga. Saya jadi tidak enak.
Ada yang memberi ada juga yang ‘meminta maaf’. Saat itu saya berharap ada asongan yang lewat ‘aqua…aqua…aqua… yang haus’.
Hingga berada diketinggian sekian mdpl, ada seorang ‘mas-mas’ berperawakan lebih tua yang sengaja saya ‘incar’. Persis berada beberapa langkah didepan saya dan yang paling penting, dipinggangnya ada BOTOL AQUA 1.5 LITER, dan botolnya FUUUULL kawan-kawan hahaha.
“Aku harus mendapatkannya”, batinku dengan semangat.
Tapi, dia belum berhenti juga. Masa saya harus memanggilnya supaya berhenti menunggu saya? Hingga akhirnya dia beristirahat dan saya pun hanya berjarak beberapa langkah. YES!!
Saat mas-mas itu duduk istirahat, saya merasa aneh koq dia tidak minum? Hebat juga dia bisa bertahan begitu.
“Mas, bisa bagi air minumnyakah?”, pintaku dengan memelas mata berkaca-kaca mirip kucing Garfield saat tiba ditempatnya.
“Bisa sih mas, tapi botolnya terikat di pinggang saya, saya juga susah minumnya ini”, katanya lagi. Oalah… pantesan masih penuh saja dari tadi.
Bak pahlawan, saya memberi botol minuman yang sudah kosong.
“Pakai ini saja, mas!”, sambil memberikan botol minuman kosong.
Gayung bersambut, botol saya diisi penuh. Waaaa..girangnya seperti dapat pacar baru #eh.
“Nih, mas minum saja duluan!”, kata saya menawarinya terlebih dahulu. Kami sudah seperti pasangan homo saja.
Ternyata, ‘kelakuan’ saya ini sudah diperhatikan oleh seorang teman saya. ‘Bob, ada minum? Bagi dong’. Yaelah, men.
Pendakian terus berlanjut, capek sudah tidak tahu lagi batasnya dimana. Masih di pertengahan Mahameru, kami disuguhi pemandangan spektakuler dari terbitnya matahari dan ternyata sudah pagi. Disana pula pertama kali saya melihat samudera awan yang luar biasa indahnya.
Memang benar kata orang, untuk melihat keindahan luar biasa itu, butuh perjuangan yang luar biasa juga.
Saya Menyerah di Puncak Mahameru
Ya, ending cerita saya ga enak banget.
Saya menyerah sebelum tiba di Puncak Mahameru.
Jam 9 pagi, sudah berjalan selama 10 jam dan belum tiba juga di puncak. Air minum habis dan kepala saya tiba-tiba merasa pusing. Saya merasa sudah sangat kelelahan.
Saya tergeletak di dekat puncak Mahameru. Teman-teman saya menyemangati untuk terus melanjutkan. Tapi saat itu saya sudah menyerah. Saya hanya menitipkan kamera saya kepada Jacky, sahabat saya untuk mengabadikan gambar di puncak sana.
Saat itu saya merasa bahwa itulah batas saya. Saya beristirahat sejenak menghilangkan pusing dan memikirkan jalan turun kebawah. Karena jalan turun ternyata tak semudah yang saya bayangkan. Salah-salah, saya bisa masuk jalur ’75’ yang terkenal keramat merenggut nyawa pendaki. Saat turun, saya salah menginjakkan kaki dengan tepat sehingga menyebabkan persendian saya cedera, nyeri yang saya bawa hingga pulang ke Jakarta.
Meski begitu, pengalaman mendaki Gunung Semeru ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan seumur hidup saya. Bertemu dengan sahabat-sahabat yang baik hati. Pengalaman yang begitu berbekas dihati.
Baca juga: Mendaki Gunung Batur, Pemandangan Sunrise-nya Mau Bikin Nangis
BTW, selalu ada jalan untuk kembali, bukan?