Cerita Perjalanan Menuju Keindahan Bromo

Rangkaian perjalanan delapan belas jam menuju tujuan akhir Taman Nasional Bromo Tengger Semeru itu tak terasa membosankan. Peserta rombongan berjumlah belasan orang itu sudah membaur menjadi satu. Mulai dari cerita perjalanan masing-masing ke beberapa peloksok negeri, sampai ke topik bahwa sebagian besar pejalan itu adalah jomblo. What? Hahaha…

Advertisements

“Menemukan pasangan saat melakukan perjalanan merupakan bonus bagi para traveler”, ujar salah satu teman saya waktu itu sok bijak. Sama-sama memiliki hobby traveling melihat dunia bersama-sama.

Hiruk pikuk tukang jualan menjajakan dagangannya (dulu wajah kereta api belum berubah seperti sekarang), canda tawa, saling berbagi, dan peduli menyertai perjalanan kami saat itu sehingga membuat kami semakin akrab satu sama lain. Kota Malang menjadi pintu masuk kami menuju Bromo. Kompleks pegunungan Bromo Tengger Semeru terletak di Kabupaten Probolinggo, sekitar 3 jam perjalanan darat dari kota apel tersebut.

Baca juga: Sekarang bisa pesan tiket kereta api online lewat aplikasi KAI Access

Kota Malang juga menjadi satu dari sekian kota di Jawa Timur yang menjadi kota yang harus saya kunjungi dan jelajahi. Selain menjadi salah satu pintu masuk Bromo dan Semeru, di Malang juga terdapat Pulau Sempu, keindahannya sudah cukup terkenal dikalangan traveler. Apalagi salah satu teman Travel Blogger Indonesia favorit saya, Debbzie, yang asli malang baru saja memposting salah satu lokasi pantai yang indah di daerah Goa Cina, dan itu berhasil membuat saya menambahkannya ke dalam bucket list perjalanan saya. Tapi bukan sekarang.

Please, mohon ingat pesannyaPlease keep this beach clean to preserve its beauty yaa..! Dan itu berlaku dimana pun kita berada.

Setelah beberes dan sarapan di stasiun, kami melanjutkan perjalanan melihat air terjun Madakaripura. Cerita dari penduduk lokal, konon nama Madakaripura diartikan sebagai tempat pemberhentian terakhir patih Gadjah Mada yang terkenal senusantara tersebut.

Dari tempat parkir kendaraan, setidaknya kita harus trekking  sejauh 2 km untuk mencapai lokasi air terjun Madakaripura tersebut. Sayang tapi sayang, cuaca memang tidak jadi teman akrab kami saat itu dan hampir seluruh perjalanan ke Bromo ini.

Tiba-tiba saja seorang bapak paruh baya yang bertugas sebagai pengawas berteriak kepada rombongan yang baru mau jalan menuju lokasi untuk berhenti. Ternyata sebentar lagi akan terjadi banjir (bandang), sehingga berakibat ditutupnya jalan keluar masuk untuk menghindari korban jiwa.

Air Terjun Madakaripura Malan
Air bandang tepat di jalur masuk menuju Air Terjun Madakaripura, Malang

Benar saja. Tak butuh waktu lama, tiba-tiba kali yang berada didepan kami mengalir air bandang dengan begitu derasnya. Ternyata saya tidak berjodoh untuk melihat air terjun Madakaripura ini. Terkadang, kita memang tidak bisa memaksa ketentuan alam atau anggap saja sebagai pertolongan sang pencipta dalam menjaga kita. Bagi saya sendiri, ini semacam alasan untuk akan kembali diwaktu lain tentunya membawa cerita yang lain pula.

Air Terjun Madakaripura
[ilustrasi] Air Terjun Madaripura. Image from google
Mau tidak mau, kami harus melanjutkan perjalanan ke Desa Wonokitri, tempat kami menginap sebelum menanjak ke Bromo. Penduduk di Desa Wonokitri sebagian besar memeluk agama Hindu. Sebuah rumah tinggal (homestay) yang terdiri dari 4 kamar, cukup menampung kami semua. Rata-rata harga kamar disini sekitar 100-125 ribu/malam.

 

Perjalanan Menuju Penanjakan Bromo

Persis jam 3 dini hari, kami sudah menyiapkan diri masing-masing, double jacket, sarung tangan, kupluk, apa pun yang bisa membuat kita merasa hangat di udara yang dingin menusuk. Mobil L300 bak terbuka sudah menanti kami di depan rumah.

Wow… dingin-dingin begini justru menggunakan bak terbuka, dan sepertinya ini bakal menjadi trip yang seru. Selain kami, ternyata sudah banyak juga group yang akan berangkat ke puncak Penanjakan Bromo untuk melihat kemunculan si ‘gagah’ mentari pagi, layaknya fans yang sedang menunggu kemunculan artis pujaannya. Bedanya, mereka naik jeep-jeep yang menjadi transportasi favorit mengitari kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini.

Jalan berkelok-kelok, udara dingin menusuk, dan embun-embun pagi berubah percikan air serasa merayap di wajah saya menambah dinginnya saat itu. Cukup lama pantat saya tegang dan harus berganti posisi berulang kali karena ketidaknyamanan posisi duduk…eh jongkok di mobil bak terbuka ini.

Lama dari pos menuju puncak Penanjakan Bromo sekitar 30 menit. Setibanya disana, kami langsung ditawari penyewa-penyewa jaket hangat sekitar 25 ribu. Buat yang ga pengen capek-capek menanjak, ada juga yang menawarkan ojek menuju puncak Penanjakan Bromo tersebut.

Ternyata penggemar matahari terbit itu sudah banyak membludak. Mereka ada dimana-mana, mencari posisi yang strategis sebelum ‘acara’ dimulai.

Sayangnya, lokasi view point di Penanjakan Bromo berkabut. Lagi-lagi cuaca ga bersahabat dengan kami. Pengunjung dan begitu pun saya, berharap kabut segera berakhir menjelang munculnya si-matahari terbit. Namun, sekian lama ditunggu-tunggu hingga langit mulai membiru, kabut masih tetap saja anteng bersama kami menutupi pemandangan Gunung Bromo yang dinanti-nanti.

Yaelah, buutt..buutt. Penonton kecewa tapi no refund my friend.

 

Drama Lanjutan ke Bukit Teletubbies

But, show must go on, kisanak!

Seperti yang saya katakan sebelumnya diatas. Terkadang kita tidak bisa memaksakan kehendak alam. Bisa saja itu dimaksudkan agar kamu datang lagi kesana. Mungkin kali berikutnya kamu jalannya bareng dengan pasangan yang kamu temui dalam perjalanan menuju Bromo itu.

Perjalanan ke Bromo ini kami lanjutkan dengan mengunjungi beberapa lokasi yang masih berada disekitar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini. Ada bukit teletubies dengan padang savana, gundukan pasir berbisik menjulang, hingga tujuan akhir ke Kawah Bromo.

Masih berkutat dengan cuaca, kami berharap kabut sudah tidak ada lagi mengintil sepanjang perjalanan kami. Kami ingin mengobati sedikit rasa kecewa tidak melihat matahari terbit di puncak Penanjakan bromo. Kami ingin melihat pemandangan-pemandangan indah di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru ini dengan ‘layar super lebar’ langsung dari bak terbuka itu.

Apa mau dikata, tak hanya kabut saja, justru hujan gerimis semakin lama justru semakin lebat. Tidak ada toleransi sama sekali. Blass… turun cukup deras dan semakin deras. Terpal yang tergeletak di dasar mobil bak yang sedari tadi diinjak-injak, jorok dan basah terkena hujan kita bentangkan.

Sreettt… layar terbentang bak kapal phinisi eh terpal deng seiring mobil bak yang semakin melajukan kecepatannya. Cukuplah untuk melindungi kita sementara dari terpaan hujan.

Eh.. tunggu dulu!! 

Advertisements

Bau apa ini?? Baunya seperti kotoran ayam…?

Sepertinya mobil ini dipakai mengangkut ayam dulu. Lengkap sudahlah keseruan kami dalam perjalanan ke Bromo ini.

Mobil melaju begitu kencangnya, belok sana-sini kayak bajaj seenak supirnya. Kapan pun gelombang di jalan, kita harus selalu siap sedia. Hingga akhirnya mobil bak terbuka itu berhenti dan mesin dimatikan.

“Horee…!”, teriak saya dalam hati.

Akhirnya kami berhenti di satu-satunya tenda kecil penjual jajanan gorengan, teh manis hangat, dan lainnya. Ternyata disinilah lokasi savana itu. Kami masih tetap harus menunggu karena hujan masih berlangsung cukup lama. Beberapa ada yang menunggu di tenda kecil itu, sebagian lagi masih betah di mobil yang beraroma itu.

Savana Gunung Bromo

Hujan mulai mereda seolah mengasihani kami yang sedari tadi berharap pada cuaca yang bagus. Saya dan pengunjung lain yang sedang menunggu di tenda maupun di mobil jeep masing-masing berhampuran ke lapangan menikmati bukit teletubbies Bromo itu.

 

Pasir Berbisik yang Memukau

Dari bukit teletubbies perjalanan kami di Bromo ini berlanjut menuju lokasi Pasir Berbisik.

Pasir Berbisik ini menjadi salah satu spot favorit saya. Gumuk pasir yang masih basah akibat hujan ini bentuknya bergelombang-gelombang seperti ombak ganas di samudera sana. Saya benar-benar terpukau sambil berkata dalam hati:

“Koq bisa seperti ini ya? Ini indah, keren banget, WOW bangetlah pokoknya… Terima kasih Tuhan.”

Perjalanan menuju Pasir Berbisik

Pasir Berbisik

Pasir Berbisik Gunung Bromo

Pasir Berbisik Bromo

Kita memang patut bersyukur melihat keindahan-keindahan seperti ini. Saya merasa beruntung sekali. Beruntung karena dari pagi tadi hujan melanda tempat ini, sehingga kami bisa berlama-lama disini tanpa merasa kepanasan.

Baca juga: Mendaki Gunung Batur, Pemandangan Sunrise-nya Mau Bikin Nangis

 

Menanjak Kawah Gunung Bromo

Mendaki kawah Gunung Bromo adalah tujuan terakhir dan dalam trip ini.

Dari parkiran mobil yang rata-rata mobil jeep, kita diharuskan trekking sejauh kurang lebih 1 km sampai ke tangga menuju kawah Bromo. Kalau tak ingin repot dan kecapean, bisa saja menunggangi kuda yang disewakan oleh penduduk lokal setempat. Kisaran harga dari 25 ribu.

Bagi yang memilih berjalan kaki seperti saya dan kebanyakan pengunjung lainnya harus berhati-hati sebab banyak sekali ‘ranjau’ kotoran kuda di sepanjang jalan. Baik yang sudah mengering atau bahkan yang masih hangat. Entah siapa yang bertanggung jawab membersihkannya.

Di kaki Gunung Bromo telah tersedia ratusan anak tangga untuk menaiki kawah Gunung Bromo yang sudah di beton. Ternyata tinggi juga ya. Ternyata susah juga, ya! Hahaha…

Semangat 45 tiba-tiba harus citu diperjalanan karena napas sudah terseok-seok.

Kawah Gunung Bromo

Pemandangan dari atas Kawah Gunung Bromo

Perjalanan ke Bromo ini akhirnya menjadi perjalanan yang begitu seru dan yang akan saya kenang. Meski tak bisa melihat panorama indah sunrise Gunung Bromo waktu itu. Artinya apa? Saya harus kembali lagi kesana. Iya, gitu aja!

Scroll to Top