Jam masih menunjukkan pukul 6 sore tapi langit sudah gelap. Senyum saya pun sumringah sesaat setelah pesawat Airbus A320 milik maskapai Citilink yang saya tumpangi dari Jakarta mendarat dengan mulus dibandara Sultan Hasanuddin Makassar. Akhirnya, kesempatan bertandang ke Tana Toraja pun datang.
Perjalanan ini merupakan trip perdana saya di pulau Celebes. Masih anak baru. Saya berencana menghabiskan waktu seminggu untuk keliling Sulawesi Selatan mulai dari Makassar, Tana Toraja, hingga Tanjung Bira.
Dalam perjalanan kali ini saya sengaja tak menetapkan jadwal yang ketat seperti anak SD jaman now. Saya ingin menikmati waktu yang bebas tak harus mengunjungi ini itu, harus berangkat kesana kesini mendapatkan semua tempat wisata yang pengen saya lihat. Engga! Pokoknya nanti saya putuskan saat itu saja karena saya gampang terpengaruh hehehe. Namun yang pasti, malam itu saya akan langsung menuju Tana Toraja.
Perjalanan saya sebenarnya ga sepi-sepi banget. Ada kak Cumilebay (almarhum) si blogger hits ala ala yang congkaknya sampai ke Toraja hanya pengen lihat pasar Bolu dan adu kerbau Toraja (Ma’ Pasilaga Tedong).
Kemudian, ada juga Sefin dan adiknya, Chika, yang memenangkan tiket gratis dari salah satu online travel agent, kita sebut saja Traveloka. Selain itu, sefin juga mengenalkan saya dengan anggota geng yang lain, kak Ayit dari @BugisMksrTrip saat menjemput kami di Bandara *kemudian cipaka cipiki*. Semuanya sudah punya itinerary masing-masing. Saya punya, kak cumi bahkan sudah ada di Toraja, pun demikian dengan geng Sefiin. Kami hanya bertemu dihari ketiga di Kota Makassar.
Begitu tiba di bandara saya langsung menuju daerah Pantai Losari yang terkenal itu untuk mengisi perut yang sudah mulai meminta untuk diisi kembali. Dari sini saya kemudian pamitan kepada Sefin, Chika dan Kak Ayit untuk melanjutkan perjalanan ke Tana Toraja.
Seorang teman saya, Elvan, yang tinggal dan bekerja disalah satu instansi pemerintah di kota Makassar menjadi bala bantuan saya selanjutnya menyusuri jalan Perintis Kemerdekaan untuk mencari loket bus Primadona yang akan membawa saya ke Tana Toraja. Dan ternyata Jl. Perintis Kemerdekaan itu panjang banget. Ada 3 kali kami berhenti untuk menanyakan posisi loket bus tersebut. Meski sebelumnya saya sudah booking (via telepon) sejak dari Jakarta dan meminta ditunggu, tapi tetap saja saya was-was ketinggalan bus. Karena dari informasi yang saya tahu, bus-bus tersebut selalu ontime.
Untungnya, pukul sembilan malam kurang sedikit, saya pun tiba diloket bus Primadona. Benar saja, tinggal saya si penumpang no. 29 yang belum hadir sementara yang lain sudah berada didalam bus (meski nyatanya bus baru berangkat pukul 21:30). Saya pun buru-buru ke loket untuk melakukan pembayaran tiket kelas ekonomi seharga Rp 130.000.
Sebenarnya pilihan bus tujuan Makassar ke Toraja itu cukup banyak, bagus-bagus dan keren-keren, lho.
Seperti bus Primadona yang saya tumpangi ini, jenis busnya menggunakan Jetbus HD. Kalau bus ini umumnya disetting memiliki 45-54 tempat duduk, tapi disini dibuat menjadi 2-2 seater (sebaris) dengan jumlah tempat duduk 30 sehingga lebih lebar dan nyaman.
Rata-rata semua bus baru atau seenggaknya ga tua-tua bangetlah. Kalau (katanya) di Jakarta, hanya Transjakarta saja yang menggunakan bus Scania yang (katanya lagi) senyaman sedan itu, nah disini operator bus Makassar-Tana Toraja sudah lebih dulu menggunakannya. Biasanya bus-bus tersebut dipakai untuk kelas premium diharga 200.000. Saya jadi teringat dengan bus eksekutif saat melakukan perjalanan menuju Singapore ke Malaysia yang dibuat 1-2 seater dalam satu baris dan dipatok harga sekitar 250ribuan.
[gdlr_widget_box title=”Table of Content” title-color=”#ffffff” background=”#333333″ color=”#ffffff” ]
- Menjejakkan kaki di Tana Toraja
- Tempat Wisata di Tana Toraja
- Transportasi
- Akomodasi
- Rekomendasi Itinerary
[/gdlr_widget_box]
Menjejakkan Kaki di Tana Toraja
Malam itu bus berjalan cukup lambat, hampir sepuluh jam perjalanan. Padahal, info yang dari teman saya, lama perjalanan dari Makassar ke Toraja bisa ditempuh dalam 8 jam perjalanan menggunakan bus. Mungkin itu pula alasan teman saya tersebut yang menyarankan menggunakan bus selain Bus Primadona.
Pukul enam pagi, gawai saya berbunyi. Sebuah pesan singkat di WhatsApp dari Kak Cumi yang bertanya posisi saya saat itu.
“Masih di Makale, Kak”, balas saya singkat.
Sehari sebelumnya, Kak Cumi memang sudah tiba di Toraja. Ia sudah sering liburan ke Toraja. Kali ini Ia hanya ingin melihat-lihat aktivitas di Pasar Bolu yang menjadi incarannya sejak lama.
Makale masih sekitar satu jam perjalanan lagi menuju Kota Rantepao yang menjadi tempat pemberhentian terakhir bus.
Rantepao, adalah ibukota Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan, sebuah kota kecil yang memiliki segudang pesona alam dan budaya yang begitu memikat.
Pagi itu Mas Cumi menjemput saya di loket bus Primadona dan dengan senang hati akan membawa saya keliling Tana Toraja. Horeeee…!
Tempat Wisata di Tana Toraja
Selama 2 hari 1 malam liburan di Tana Toraja, tak banyak tempat wisata di Tana Toraja yang kami datangi. Itu pun hanya destinasi umum di sekitar Kota Rantepao saja.
Kuburan Tebing Batu Lemo
Setelah meletakkan tas ransel dan hanya membawa kamera saja, kami kemudian meluncur menuju Desa Lemo yang berjarak sekitar 9 Km ke sebelah selatan Kota Rantepao.
Di Desa Lemo ini terdapat sebuah ‘komplek’ kuburan yang dipahat di atas tebing batu dan dipercaya sudah ada sejak abad ke-16. Setiap pengunjung akan dikenakan biaya masuk sebesar Rp 10.000,-
Tana Toraja terkenal akan tradisi uniknya yang menyimpan mayat di dalam rumah. Orang yang telah meninggal belum bisa dikatakan mati tapi hanya sakit sebelum dilaksanakan upacara pemakaman yang disebut Rambu Solo dan dimakamkan di tempat yang layak (dalam adat Toraja), yaitu di atas tebing.
Karena biayanya yang sangat mahal hingga mencapai miliaran rupiah, maka keluarga akan menyimpan mayat tersebut di dalam rumahnya. Ini bisa berlangsung bertahun-tahun hingga dananya terkumpul.
Seorang bapak yang kami temui di Desa Lemo mengatakan kalau ibunya yang telah meninggal awal tahun itu masih berada di kamar rumahnya sambil menunggu pelaksanaan upacara Rambu Solo yang rencananya akan dilaksanakan di bulan Desember tahun berikutnya.
“Mau lihat?”, kata bapak itu seraya menawari kami.
“Masih 1.5 tahun lagi dikuburnya? Ga usah pak. Terima kasih tawarannya!”, jawab saya meski tersimpan rasa penasaran untuk melihatnya.
Sebenarnya tak ada waktu yang pasti berapa lama menyimpan jenazah tersebut. Semakin cepat semakin baik. Ini lebih kepada perlakuan untuk orang yang telah meninggal (aluk to mate).
Perkuburan Londa Toraja
Dari kuburan tebing batu di Desa Lemo, saya dan Kak Cumilebay kemudian pindah lokasi ke Londa. Lokasinya tak begitu jauh dan berada di Desa Sandan Uai, berjarak sekitar 4 Km dari Kota Rantepao atau sekitar 5 Km jika kita dari Desa Lemo tadi.
Sembari menyupiri saya, Kak Cumi banyak bercerita tentang pengalamannya yang sudah beberapa kali menyambangi Tana Toraja termasuk saat mengikuti trip ekspedisi Terios 7 Wonders menyusuri Sulawesi, dan pengalaman serunya yang lain saat menjadi Travel Blogger, serta sesekali mengajari saya congkak haha.
Mirip dengan yang di Desa Lemo, Londa juga berupa komplek perkuburan. Bedanya, selain makam yang dipahat di tebing, ada juga gua alami yang dijadikan sebagai makam.
Setelah membayar tiket masuk, kak cumi menganjurkan saya untuk menyewa local guide beserta lampu petromak seharga Rp 30.000,- ga kurang dan belum tips untuk menemani saya masuk ke dalam gua. Total saya memberi Rp 50.000,- untuk harga petromak dan tips.
Seorang bapak paruh baya yang merupakan salah satu anggota keluarga, bermarga Tolengke, menemani saya menjelajah gua makam. Sementara Kak Cumi menunggu di luar karena sudah pernah mengunjungi tempat ini sebelumnya.
Dari jauh komplek pekuburan Londa Toraja yang terkenal itu sudah kelihatan. Pemakaman ini sebenarnya merupakan pemakaman keluarga (bangsawan). Banyak sekali peti-peti yang digantung menjorok menempel ke tebing dan beberapa peti terlihat sudah berumur ratusan tahun.
Dibanding dengan yang di Desa Lemo, disini patung (tao-tao) bangsawan terlihat lebih detail baik dari wajah, postur tubuh hingga pakaiannya. Dalam budaya dan tradisi masyarakat Toraja, hanya bangsawan saja yang diperbolehkan membuat tao-tao.
Kisah Romeo dan Juliet di Toraja
Masih di Londa, bapak pemandu kemudian mengajak saya untuk masuk ke dalam goa. Di dalam makam goa ini, peti-peti diletakkan tak beraturan, bertumpuk begitu saja. Ada yang masih utuh, ada juga yang sudah usang hingga tulang belulangnya terlihat. Untuk masuk lebih dalam lagi, kita harus melewati celah yang sempit dengan menunduk agar tidak terantuk dinding gua.
Di dalam goa, kita bisa menemui sepasang tengkorak yang diletakkan begitu saja di lantai gua. Sepasang tengkorak itu adalah Lobo dan Andui, sepasang kekasih yang memiliki cerita percintaan bak Romeo dan Juliet, kisah Pak Malengko bercerita.
Kisah percintaan keduanya dilarang oleh para leluhur karena masih memiliki hubungan keluarga yang dekat. Sehingga dua sejoli ini pun memutuskan untuk gantung diri.
“Mereka masih sepupu langsung”, kata Pak Malengko menjelaskan.
Masih lebih enak jomblo ‘kan gaes! hahaha
Adu kerbau Toraja
Menjelang siang, kami kemudian bergegas beranjak menuju arah Desa Palangi, Kecamatan Sa’dan Balusu, tempat adu kerbau Toraja dilaksanakan. Lokasi tempat adu kerbau khas Toraja ini biasanya berbeda-beda setiap tahunnya.
Adu kerbau atau bahasa Toraja-nya Ma’pasilaga Tedong merupakan salah satu rangkaian sebelum upacara kematian Rambu Solo dilaksanakan. Masyarakat lokal berduyun-duyun datang untuk menyaksikan Ma’pasilaga Tedong ini sehingga membuat jalan yang sudah kecil menjadi lebih ramai dan padat. Macet lokal.
Dari sebuah lapangan dekat sebuah gereja, kami memarkirkan mobil untuk kemudian jalan cukup jauh melewati pematang sawah menuju arena.
Kami tak sempat berkeliling lebih jauh karena di lapangan sudah penuh sesak dengan orang-orang. Sementara di tengah lapangan, sedang berlangsung upacara doa sebelum memulai acara yang dipimpin oleh seorang tetua adat.
Acara yang ditunggu-tunggu pun tiba, satu persatu nama kerbau dipanggil dan digiring masuk ke dalam arena. Tiap kerbau memiliki namanya masing-masing, ada Dorce, Tekken Langi dan lainnya. Bak artis, tiap kerbau punya tendanya masing-masing.
Selain kerbau yang akan dikorbankan saat acara Rambu Solo nanti, ada juga kerbau-kerbau penantang yang sengaja diundang untuk memeriahkan acara. Resikonya, kerbau penantang bisa terluka (tanduk patah) atau bahkan mati. Tapi jika menang, harganya pun turut tergerek naik.
Baca cerita lengkap: menonton adu kerbau Toraja
Merinding di Kete Kesu
Kami tak lama berada di lokasi Ma’pasilaga Tedong ini. Hanya menyaksikan upacara pembukaan dan satu ronde adu kerbau saja dan memutuskan untuk pindah ke tempat wisata lainnya. Masyarakat semakin banyak berdatangan, sehingga jalanan kian macet.
Hari sudah sore, dari sana Kak Cumi kemudian mengantarkan saya ke Kete Kesu yang hanya berjarak sekitar 4 Km saja dari kota Rantepao. Kete Kesu ini juga komplek perkuburan yang sudah berusia ratusan tahun dan menjadi ikon wisata di Tana Toraja.
Di Kete Kesu saya juga menjumpai adanya goa makam. Tinggal menaiki tangga yang sudah tersedia dan menyusuri sisi tebing. Di tengah perjalanan saya sempat ragu menyusuri tebing tersebut hingga ke pintu goa karena suasananya cukup membuat saya merinding kala itu.
Rasanya pengen balik saja hingga anak-anak yang berjaga-jaga di pintu goa berseru:
“Disini masih ada goa”, seru salah satu anak dari kejauhan.
Saya kemudian beranjak dari tempat saya berdiri dan memberanikan diri menghampiri mereka hingga pintu goa. Kedua bocah yang berjaga kemudian menawari jasa untuk melihat-lihat ke dalam goa yang katanya mencapai kedalaman hingga 18 meter.
Cukup lama berpikir hingga akhirnya menolak tawaran tersebut. Saya sendiri tak tahu mengapa. Hanya perasaan saya sore itu sudah tidak nyaman sekali akan aura sore itu. Akhirnya saya hanya melihat-lihat ruangan makam yang khusus dibuat untuk anak kecil di dekat mulut goa.
Saat datang kesini, pihak keluarga tengah melakukan persiapan upacara rambu solo yang akan dilaksanakan minggu depannya. Sayang waktu saya di Tana Toraja tak lama.
Batu Menhir Bori
Karena hari masih sore, Kak Cumi lagi-lagi menawarkan untuk mengantarkan saya ke tempat lain, yaitu menuju salah satu situ megalitikum batu menhir di daerah Bori. Saya jelas menganggukkan kepala tanda manut mengikuti arahannya. Disana, kami hanya foto-foto sebentar saja hingga matahari mulai meredup.
Di tempat ini pun sedang dilakukan persiapan upacara Rambu Solo. Seorang bapak, mungkin pihak keluarga, yang kami tanyai disana mengatakan bahwa upacara akan diadakan tanggal 29 Juni dan mengundang kami untuk datang.
Wah, lagi-lagi waktu tak berpihak karena saya hanya semalam saja berada disini.
***
Transportasi
Untuk menuju Tana Toraja, kamu bisa mengunakan pesawat menuju Kota Makassar (Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin). Ada banyak penerbangan kesana. Dari Kota Makassar, kamu bisa menyewa mobil atau menggunakan transportasi bus.
Akomodasi
Di Rantepao, saya dan Mas Cumi menginap di Wisma Maria 1 yang terletak di Jalan Dr. Sam Ratulangi.
Wisma Maria 1 (ada dua Wisma Maria), salah satu penginapan murah di Toraja yang direkomendasikan oleh Lonely Planet. Pantas saja cukup banyak bule-bule yang saya temui menginap di wisma ini.
Selain itu masih banyak akomodasi lain yang bisa kamu pilih lewat aplikasi Agoda, Traveloka, atau aplikasi booking hotel lainnya.
Rangkuman Itinerary
Cerita perjalanan saya bareng Mas Cumilebay selama 2 hari 1 malam ini sebenarnya cocok juga kamu jadikan sebagai itinerary. Berikut ringkasannya:
- Day 1
Tiba di Makassar. Jika kamu tiba pagi hari di Kota Makassar kamu masih sempat melakukan city tour terlebih dahulu. Malamnya sekitar pukul 21:00 lanjut menggunakan bus Makassar – Toraja. - Day 2
Tiba pagi hari di Kota Rantepao. Mengunjungi wisata di Toraja seperti Desa Lemo, Londa, Kete Kesu, melihat situs megalitikum batu menhir di Bori, hingga menyaksikan adu kerbau Toraja. - Day 3
Kembali ke Kota Makassar
***
Note:
Cerita perjalanan 2 Hari 1 Malam di Tana Toraja bersama Cumilebay (almarhum) ini saya tulis ulang dengan memperbaharui informasi supaya relevan saat ini.