Hari kedua di Varanasi menjelang keberangkatan kereta kami pukul 5 sore kami lewatkan dengan mengunjungi sebuah kampung pembuat Sari India di Fatman Road, daerah Sigra. Menjelang siang setelah check-out kami diantar oleh Shiwa, supir tuktuk yang membawa kami keliling kuil-kuil tak jelas pada hari pertama di Varanasi setelah bikin janji sebelumnya.
Baca juga: Hari pertama di Varanasi India
Kami membayar Rs1000 (mahal karena minimum 3 orang dan sudah termasuk tips) untuk membawa kami keliling melihat Fatman Mosque, ke perkampungan pembuat sari didekat Fatman Mosque, Kuil Buddha Sarnath, Ramnagar Fort (meski akhirnya tak keburu juga), dan termasuk mengantar kami ke stasiun kereta Varanasi Juntion.
Baca juga: Mengunjungi Sarnath Cikal Bakal Buddhisme di India
Memasuki jalan Fatman, Shiwa menghentikan tuktuknya dan menunjukkan kami sebuah mesjid yang kelihatannya tak terurus.
“That’s Fatman Mosque”, kata Shiwa.
“Hah.. begitu doang?”, batin saya.
Saya pun enggan mengeluarkan kamera saya untuk mengambil gambar. Dan itu pun kita hanya bisa mengambil gambar seadanya dari seberang jalan. “Kalau gitu, bawa kita ketempat berikutnya” ujar Saya kemudian dengan sedikit gondok.
Tak jauh dari Fatman Road, tuktuk kemudian berhenti di jalan kecil. Menurut Shiwa, disinilah letak ‘kampung’ muslim India yang memproduksi kain Sari India rumahan yang berkualitas. Beberapa menit setelahnya datanglah seorang pemuda (saya lupa namanya). Shiwa mengatakan pemuda ini akan membawa kami keliling-keliling kampung ini (padahal hanya beberapa rumah saja) untuk melihat secara langsung proses pembuatan sari.
Dari jalan kecil itu kami kemudian masuk ke gang-gang kecil menuju sebuah rumah yang sudah dijadikan tempat pembuatan sari-sari. Kalau boleh dibilang, tempat ini mirip seperti Kampung Laweyan di Solo.
Baca juga: Tips mengurus visa India
Dari luar rumah yang kami masuki sudah terdengar suara bising mesin-mesin tenun membuat Sari. Saya terpukau begitu masuk kedalam, disitu terdapat dua mesin besar yang sangat tua sedang menempah masing-masing sebuah bahan kain sari menutupi hampir seluruh ruangan. Hanya tersisa ruang seukuran satu orang dewasa untuk jalan keluar masuk.
Pada tiap mesin terpasang sebuah alat yang terbuat dari karton tebal yang cukup keras dan dapat dibongkar pasang ke mesin tersebut. Kegunaannya adalah sebagai pembuat corak sari. Dengan alat ini, mesin-mesin tenun tersebut dapat menghasilkan kain sari dengan corak-corak yang berbeda.
Setelah menjelaskan secara singkat perihal mesin-mesin tersebut, kami kemudian masuk ke ruang sebelahnya. Diruangan yang lebih kecil itu, seorang bapak tua sedang menenun kain sari dengan alat tradisional menggunakan tangan. Mirip alat tenun tradisional yang sering kita temui di Indonesia. Kami pun sempat mengabadikan gambar bapak tua yang sedang menenun itu.
Dia pun dengan senang hati kami ambil potretnya, namun kemudian menjulurkan tangannya untuk meminta tips. Alamaaak!!
Harga kain Sari India sangat bervariatif tergantung dari cara membuatnya. Sari yang dihasilkan oleh mesin jauh lebih murah ketimbang dengan menggunakan alat tradisional. Selisih harganya bisa mencapai 3x lipat. Begitu juga dengan Sari yang sudah merupakan produksi garmen besar harganya juga jauh lebih murah. Bisa kita dapat hanya Rs250 saja. Namun kualitasnya sudah berbeda dan terdapat cap merek garmen itu sendiri.
Sehabis melihat cara kerja pembuatan sari tersebut, kami kemudian berpindah ke rumah produksi lain yang tak jauh dari rumah sebelumnya. Kami tak masuk kerumah ini, hanya melihat dari luar jendela saja. Di rumah tersebut kami melihat beberapa anak-anak sedang memasang pernak-pernik diatas sebuah kain sari secara manual menggunakan tangan.
Lanjut lagi, kami kembali ke jalan besar tempat kami berhenti pertama kali menuju sebuah kios tempat dimana dibuatnya alat kecil pembentuk model dan corak kain sari tersebut. Didalam kios tersebut terdapat dua orang laki-laki dewasa yang sedang memukul dan melubangi karton tebal dengan sebuah paku khusus. Lubang-lubang tersebut membuat sebuah pola yang nantinya ‘diterjamahkan’ oleh mesin-mesin tenun tersebut menjadi corak-corak kain sari.
Tur kami siang itu benar-benar singkat sekali. Kemudian, tour guide kami ini membawa kami ke tokonya. Yaelah, dude! Jualan juga toh. Kami pun mengiyakan pergi ke tokonya dengan perasaan terjebak untuk melihat kain-kain sari India yang katanya bagus-bagus dan berkualitas itu.
Layaknya pedagang di Pasar Baru, dia kemudian mengeluarkan semua produk-produk terbaiknya dan ditunjukkan kepada kami berdua. Dengan segala pengetahuannya tentang kain sari, dia berusaha membujuk saya dan Kak Indri untuk membeli.
“Saya akan tunjukkan semua sari-sari yang bagus, kalau ada yang menarik perhatianmu, langsung dipinggirkan saja dulu”, katanya lagi.
Saya sendiri memang berniat membeli sebuah kain sari dan scarf untuk dijadikan oleh-oleh.
Sari-sari yang ditunjukkan menurut saya memang bagus-bagus dan memiliki bahan kain sari yang kuat. Dan akhirnya saya menjatuhkan pilihan pada sebuah kain sari sepanjang 6.5mx1.5m dan sebuah scarf dengan harga ‘diskon’ Rs3250 atau sekitar Rp 650.000,-.
Kemudian bangkrut seketika tak sanggup beli Chai hahaha.
Karena harganya cukup mahal menurut saya (ga tahu perbandingannya) jadi Sari dan Scarf dengan berat hati tak dijadikan Giveaway ya hahaha.
Baca juga: Destinasi wisata di India lainnya