Pesawat Air Asia tujuan Kuala Lumpur — Kolkata akhirnya mendarat di bandar udara Netaji Subhas Chandra Bose, Kolkata, India pukul 24 kurang sedikit. Perjalanan kami menyusuri India bagian utara selama 14 hari akan dimulai dari Kota Kolkata.
Kolkata hanya sebagai tempat transit untuk melanjutkan perjalanan kembali menuju Varanasi. Karena tiba tengah malam, kami memutuskan untuk menginap saja di bandara hingga pukul 6 pagi. Mau ga mau tidur tegak pun dilakukan.
Baca juga: Bikin Visa ke India gampang banget
Sekitar pukul 6 pagi, suasana bandara masih tampak sepi karena matahari baru saja menampakkan dirinya. Kalau di Jakarta jam segini sudah terang banget dan jalanan pun sudah ramai. Tak banyak lalu lalang orang yang akan bepergian. Sebagian, masih terlihat beristirahat di lobby kedatangan bandara ini. Pagi itu, kami pun memutuskan untuk langsung menuju Howrah Junction, stasiun besar di Kolkata. Padahal kereta baru akan berangkat menuju Varanasi pukul 13:50 siang.
Setelah membayar taksi Rs 280,- atau sekitar 56 ribu diloket, kami kemudian menaiki taksi tua berwarna kuning terang buatan India dengan fitur-fitur seadanya. Tak seperti taksi rewot di Jakarta, disini (mungkin) lebih parah.
Tak ada AC meski ada kipas angin kecil yang tampaknya tak berfungsi lagi, angin sepoi-sepoi langsung masuk melalui jendela yang dibiarkan terbuka. Jok tua yang sudah usang, dan dashboard jadul era tahun 60an, meski begitu, mesinnya tak terlalu berisik dan bisa diajak ‘berlari’.
Hanya satu yang paling berisik. KLAKSON. Ya, klaksonnya nyaring banget dan hampir setiap beberapa detik, supir taksi kami selalu memencet klaksonnya begitu melihat halangan didepannya sambil ngepot sana ngepot sini.
Ternyata memang begitulah lalu lintas di India ini. Semrawut dan pengen ngajak rusuh. Orang-orang seperti buru-buru di jalanan itu. Tiap pengendara pengen menyalip kendaraan yang ada didepannya. “Tan-tin-tan-tin…”, suara klakson pun saling menyahut dari hampir semua pengendara, entah itu mobil, motor, bus, semuanya gatal memencet klaksonnya yang nyaring. Saya agak shock hahaha.
Pagi itu di Stasiun Howrah Junction pun ternyata sudah ramai sekali dengan lalu lalang orang. Howrah Junction ini dibangun tahun 1854 merupakan salah satu stasiun besar dengan 23 platform dan 26 track, jelas bangunan stasuin ini sudah tua banget.
Kesan semrawut dan kumuh langsung terlintas dibenak saya. Begitu melihat suasana distasiun ini. Jorok dan tidak terawat. Ditambah orang-orang banyak yang begitu saja duduk lesehan bahkan tiduran dilantai dan menghalangi jalannya lalu lalang orang.
Namun begitu, saya salut dalam beberapa hal, seperti tersedianya beberapa kelas kereta dari gerbong Sleeper pake AC, ga pake AC, yang duduk saja sampai yang tidak memiliki reservasi. Semua kalangan bisa masuk. Selain itu, kita sudah bisa booking online tiket kereta jauh-jauh hari. Fasilitas informasi juga sangat jelas. Layar monitor besar terpampang jelas informasi-informasi kereta yang datang, berangkat, hingga platformnya.
Punya waktu 6 jam di Kolkata, kami langsung bergegas keluar stasiun setelah menitipkan barang dengan biaya Rs 36,- untuk 2 tas carrier besar selama 24 jam. Berbekal ‘kitab suci’ para traveler, Lonely Planet, kami mencoba berjalan mencari tempat yang dapat dilihat disekitaran stasiun Howrah Junction ini.
Howrah Bridge Kolkata
Tak jauh dari Stasiun Howrah Junction, hanya beberapa ratus meter berjalan kaki, tempat yang kami kunjungi pertama kali adalah Howrah Bridge. Jembatan yang dibangun tahun 1935 ini memiliki kerangka-kerangka besi kokoh nan rumit menggantung diatas sungai Hooghly. Pantas saja jembatan ini selalu bergoyang setiap ada mobil lewat.
Sayangnya, mengambil foto disini dilarang. Saya sempat diomelin oleh (sepertinya) petugas keamanan, berpakaian serba putih dengan pangkat dipundaknya, saat hendak mengarahkan gawai saja ke arah jembatan. Dikedua ujungnya ternyata ada plank besi kecil bertuliskan larangan mengambil foto disepanjang jembatan ini.
Kami terus melanjutkan jalan-jalan pagi kami menyusuri jalan Mahatma Ghandi mencari sebuah Indian Coffee Shop yang tertulis dibuku Lonely Planet itu untuk sekadar sarapan dan kongkow menjelang jadwal kereta.
Wifi tak ada, GPS pun tak berfungsi, sesekali mengintip Lonely Planet kami pun menebak-nebak arah jalan menuju tempat itu meski akhirnya tak kunjung ketemu juga. Ternyata kami sudah berjalan kaki kira-kira 6-7 km sampai ke University of Calcutta. Babang lelah dek!
Lapar ternyata tak terbendung lagi. Kami pun sarapan pagi ala orang India disini dengan jajanan prata dipinggir Univeristy of Calcutta karena tak ada warung makanan disekitar sini. Seporsi (dua lembar) prata plus kentang dan telor rebus cuma Rs 19 atau sekitar Rp 3.800,-. Muraaaaaaah!
Meski kaki sudah rada pegal. Jalan kaki ala-ala ini kami lanjutkan ke destinasi berikutnya yang mungkin bisa kami kunjungi, yaitu Tagore House. Cukup sulit ternyata mencari jalan menuju Tagore House ini. Papan nama jalan sangat sulit kami temui disini. Untungnya bisa tiba juga di museum ini.
Tagore House
Tagore House atau Rabindra Bharati Museum adalah kediaman keluarga Rindranath Tagore, seorang sastrawan yang memenangkan hadiah nobel dibidang sastra pada tahun 1913. Kini, Tagore House ini beralih fungsi menjadi museum sekaligus kampus Rabindra Bharati University.
Tepat siang hari kami pun kembali ke Howrah Junction untuk melanjutkan perjalanan ke Varanasi.
Baca juga cerita saya lainnya tentang backpacking ke India:
- Hari pertama di Varanasi
- Terjebak beli kain Sari India di kampung pembuat sari
- Mengunjungi Sarnath cikal bakal Buddhisme di India
- Mengagumi indahnya pesona Taj Mahal
- Tempat wisata yang wajib kamu kunjungi saat ke Jaipur India
- Darjeeling, kota dingin yang cantik di kaki Himalaya
Kamu gimana? Ada yang pernah ke Kolkata? Yuk tulis pengalaman kamu dikolom komentar!